PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA JALAN DI TEMPAT
Mengukur kemajuan Pendidikan Tinggi Indonesia dengan negara-negara maju mungkin tidak pada tempatnya. Sejarah, fasilitas, dan kejelasan kebijakan serta komitmen pemerintah di Negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat dan Jepang untuk memajukan pendidikan di level terakhir hirarki pendidikan formal ini relatif lebih kaya dan matang. Di samping itu, konteks budaya dan ideologi yang berbeda membuat evaluasi dengan parameter yang seragam seumpama membandingkan apel dan jeruk. Namun, visi pendidikan untuk menyempurnakan manusia ciptaan merupakan benang merah yang menghubungkan satuan-satuan pendidikan tinggi di manapun di planet ini. Kenyataannya, walaupun hampir seabad sejarah perkembangannya perguruan tinggi kita, dibandingkan negara-negara tetangga kitapun, seperti jalan di tempat.
Faktor ekonomi sebagai kambing hitam seringkali meloloskan penentu kebijakan untuk lebih serius mengupayakan percepatan pendidikan tinggi. Padahal, secara yuridis, dasar fungsi dan tujuan sistem pendidikan nasional dengan jelas telah memutlakkan komitmen Negara untuk menjadikan manusia Indonesia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20, tahun 2003 tentang SisDikNas). Masalahnya, gambaran yang abstrak dari kesempurnaan insan didik tidak dibarengi dengan pengejawantahan sehingga seluruh nilai luhur tak mampu tervisualisasikan. Sebagai pembanding, pemerintah Malaysia dengan jelas menargetkan lulusan yang dapat terjun di masayarakat industri pada tahun 2020. Lebih jauh dari catatan UNESCO di tahun 2003 tentang „Peran Penyediaan Transnasional, Swasta, dan Berorietasi Laba dalam Menyongsong Tuntutan Global bagi Pendidikan Tinggi: Pemetaan, Regulasi dan Pengaruhnya“ menargetkan kemampuan entrepreneurship atau kemandirian berusaha, keilmuan serta nilai kultur hitoris dan religius yang berimbang yang harus dimiliki setiap warganya pada tahun 2020 itu. Jelas penyebabnya adalah pasar terbuka yang di tingkat ASEAN telah mulai digenjot sejak Januari 1992 silam, walaupun dengan hasil yang mengecewakan, setidaknya dari segi peningkatan kegiatan dagang dan investasi. Sementara itu, Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) menghendaki lulusan yang terpenuhi kebutuhannya, berkembang kemampuan intelektualnya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, serta yang dapat berkontribusi pada daya kompetitif bangsa. Hal ini termaktub dalam Kerangka Pembangunan Perguruan Tinggi Jangka Panjang (KPPTJP) IV, periode 2003-2010. Parameter yang ambisius ini tidak jelas acuan kualitasnya, sekaligus abstrak sebagai penentu fokus masyarakat didik, khususnya satuan-satuan pendidikan, yang selayaknya diharapkan dari sebuah kerangka kerja. Akibatnya, muncul stigma kebijakan-kebijakan pendidikan di negara kita yang cenderung politis daripada berorientasi kepada karya, karena bahasa konsep yang muluk-muluk tidak berbentuk.
Dari sisi statistik banyak yang bisa dijadikan bahan refleksi dari pengalaman negara tetangga kita ini, yang dulu sempat mengagungkan dan belajar dari perguruan-perguruan tinggi nasional kita. Dengan populasinya yang hanya paling banyak setengah dari populasi Indonesia, Malaysia memiliki daya beli pendidikan sebesar 30% dari penghasilan kotornya perkapita. Hal ini cukup memilukan mengingat pembelanjaan negara untuk sektor ini di Indonesia belum mencapai 20% dari 40% yang menjadi target pemerintahan SBY. Bayangkan saja, jika dana sebesar ini merupakan subsidi pemerintah dan rata-rata perkapita pembelanjaan pendidikan hanya mampu sebesar 13% (data dari Dikti), betapa rendahya kemampuan masyarakat kita untuk berperan aktif dalam pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hanya orang-orang berkemampuan ekonomi menengah ke atas saja yang mampu membeli jasa pendidikan tinggi di negara ini. Anehnya, kalau pendidikan masih merupakan kemewahan, mengapa sekolah-sekolah dengan kurikulum gado-gado, antara kurnas, kurikulum lokal/berbasis sekolah, dengan lisensi dari negara-negara seperti Amerika, Australia dan Singapura yang kini tengah menjamur, tetap memiliki cukup murid di setiap tahun ajarannya. Tentu saja dalih para orang tua yang berkorban secara finansial dikarenakan sangsi terhadap kualitas sekolah normal, bukan yang plus atau bertajuk home-schooling, dan bukan karena kelimpahan finansial. Namun ada penjelasan lain atas mahalnya biaya pendidikan dan rendahnya tingkat kesejahteraan tenaga pendidik yaitu bahwa lagi-lagi pemerintah yang kurang serius mendanai pendidikan nasional. Di tingkat pendidikan tinggilah kemalasan ini terakumulasi, sehingga universitas-universitas kita mendapat bukannya mendapat cap universitas pengajaran (teaching universities) atau universitas penelitian (research universities) tetapi universitas pabrik, yang kerjanya mencetak lulusan bersertifikat tapi tidak siap terap. Perguruan tinggi kita tidak berlomba meningkatkan diri dari segi pencapaian kepengajaran dan hasil penilitian yang bisa berguna di masyarakat, tapi sibuk menyusun strategi untuk menggaet mahasiswa agar dapat terus beroperasi. Alhasil, kualitas lulusan menurun dan mencemaskan orang-tua yang mendanai sebagian besar proses didik anak-anaknya. Gelap mata, orang tua kemudian menganggap sekolah atau uiversitas yang mahal diharapkan menawarkan kualitas pendidikan yang lebih. Terbentanglah jurang antara penyelenggaraan pendidikan tinggi yang inklusif menyiapkan anak didik untuk berkiprah di masyarakat dengan yang bertujuan praktis eksklusif, agar dapat di terima di dunia kerja dengan bekal sertifikat dari perguruan tinggi ternama. Selayaknya kita sudah harus ganti ‚berguru’ pada Malaysia tentang komitmen finansial bagi pendidikan.
Kenyataan ini semakin menyadarkan keterbelakangan kita dan urgensi untuk mulai berlari mengejar ketertinggalan. Kalau tidak, target Malaysia untuk menjadi jantung penyedia pendidikan tinggi di ASEAN (seperti halnya Singapura) pasti akan memberikan pil pahit bagi pendidikan tinggi kita. Negara-negara lain pun rupanya memiliki ambisi yang sama. Sebut saja Jerman, Prancis, Belanda, bahkan Rusia, Ukraina, dan India yang dalam catatan UNESCO sudah dan sedang gencar-gencarnya berebut pasar sebagai yang terkemuka. Hasilnya sudah mulai bisa dirasakan dengan jejaring yang semakin rapat dan meluas yan dibina negara-negara tersebut untuk mempromosikan pendidikan tingginya. Di samping itu, perdagangan jasa pendidikan tinggi sudah sangat meluas. Tak heran jika universitas-universitas di Australia pun dipenuhi dengan tenaga-tenaga pengajar (dosen) yang berasal atau berkewarganegaraan India, di bidang ekonomi dan sains khususnya teknologi imformasi. Pada akhirnya mulai banyak universitas di Indonesia yang menjalin kerja sama dengan universitas luar negri dengan tingkat keterlibatan asing yang beragam. Sebut saja program internasional di beberapa universitas yang menggandeng universitas luar negri (baca: barat) dan bentuk kerja sama lain yang melibatkan content pengajaran maupun tenaga pengajar yang musti diimpor dari luar yang banyak dijalani unversitas-universitas swasta di Indonesia. Mirisnya, di sisi lain pemerintah mengakui bahwa satuan pendidikan swasta banyak bertumpu pada tenaga pengajar dari insititusi negri dari segi kualitas. Bila kita saja tidak mampu menjamin dari segi kualitas dan ketersediaan dosen, tak pelak Indonesia akan jadi sasaran empuk dosen-dosen dengan kompetensi tinggi dan biaya rendah, semisal India. Pukulan lain akan datang dari intelektual-intelektual kita yang bisa hijrah ke negara lain yang bersedia membayar lebih tinggi untuk keahliannya (braindrain) mengingat masih rendahnya tingkat apresiasi untuk kesejahteraan dosen di Indonesia. Kalau tidak segera ‚gumregah’ atau bangun dan bekerja, di masa datang kita terpaksa harus memakai ‚produk’ luar yang lebih berkualitas sementara kehilangan dosen-dosen yang brilian karena hendak ‚belanja’ (baca: bekerja dan sekaligus mengembangkan ilmu) di pusat atau jantung perguruan tinggi seperti di negara-negara di atas.
Ada beberapa hal yang menjadi fokus pendidikan tinggi kita agar tidak lagi jalan di tempat dan mati suri. Pertama, tersedianya rumusan kebijakan yang ringkas namun jelas. Hal ini termasuk turunannya, peraturan pemerintah dan kerangka pembangunan DIKTI, yang lebih ilustratif dan memiliki simpulan-simpulan yang lebih berbasis kepada data. Hal ini penting dikarena pendidikan adalah komitmen sepanjang hayat yang seharusnya merupakan kerja yang progresif dan bukan daur ulang kebijakan sebelumnya. Diperlukan juga perumus-perumus yang independen yang mampu melihat dengan jernih permasalahan yang terjadi dan yang dengan legawa atau berbesar hati belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah ada tanpa ditunggangi sentimen golongan atau pribadi. Langkah yang mulai ditempuh BAN-PT merupakan salah satu bentuk kemandirian (terinspirasi oleh QAA Inggris dan peer-review di Amerika yang melakukan akreditasi tanpa intervensi pemerintah) yang sayangnya masih setengah-setengah karena keanggotaannya ditunjuk oleh Mentri Pendidikan Nasional. Perlu juga konsistensi antara kebijakan dengan prakteknya di lapangan. Otonomi yang diberikan bagi perguruan tinggi nyatanya masih sering terjegal dengan aturan-aturan di tingkat operasional. Sebagai contoh adalah persamaan ijasah/gelar dari luar negri yang tidak pandang bulu, padahal kalau ditilik, peringkat perguruan tinggi kita di dunia masih belum bisa dikategorikan di atas rata-rata. Secara prinsip, kalau lulusan dari universitas OXFORD di Inggris harus disamakan atau disetarakan dahulu, terjadilah penurunan kualitas, atau dari segi pengakuan, tidak mendapat apresiasi lebih. Kebijakan lain yang berhubunga dengan penyediaan kependidikan transnasional, KPPTJP dengan jelas menyambut adanya peluan pihak asing untuk memajukan pendidikan di Indonesia, tapi pada kenyataannya banyak kendala baik dari segi perpajakan untuk buku-buku pelajaran maupun ijin kerja tenaga ahli. Ditambah lagi dari sisi perlindungan keamanan, pemerintah tidak dengan gagah memberikan jaminan bagi para profesor yang pada masa sabatikal-nya ingin mengajar atau melakukan penelitin di Indonesia secara terbuka. Kita sudah terlampau sering memberikan rumusan-rumusan, namun yang sebenarnya dibutuhkan adalah rumusan yang berasal dari akar rumput (grassroot) yang paling jujur menginformasikan apa-apa yang perlu dikerjakan demi kemajuan pendidikan tinggi. Pada kenyataannya, masyarakatlah yang merupakan stakeholder dari pendidikan tinggi. Kalau tidak, pengalaman di bangku kuliah akan menjadi pengalaman yang buruk/salah dan bukan yang seharusnya seperti yang diidealkan John Dewey demi tercapainya pembelajaran. Alih-alih menjadi penerang masyarakat dan agen perubahan, sarjana-sarjana kita hanya akan menjadi bagian dari menara gading yang semakin hari semakin memperlebar jurang antara masyarakat awam dan kaum elit.
Kedua, ditengah-tengah tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih belum gemilang, sebaliknya pendidikan perlu dibiayai lebih besar. Belajar dari pengalaman India, dan tak ketinggalan Cina, mahasiswa banyak sekali mendapat kemudahan dan fasilitas yang ditanggung oleh negara. Mulai dari buku-buku yang tercetak dengan kertas berkualitas lebih rendah (buram) yang menjadikan harga sangat murah, akses internet yang cepat dan sangat ringan biayanya. Salah seorang rekan dari Cina menuturkan bahwa hampir semua rumah tangga mampu memiliki sambungan internet broadband karena biayanya hanya sekitar £15 atau Rp 75 ribu perbulan untuk unlimited access yang siap pakai 24 jam setelah aplikasi pada provider. Di samping itu, bagi mahasiswa kedokteran, yang jam terbangnya sangat tinggi, disediakan asrama di lingkungan kampus yang biayanya sudah tercakup dalam biaya kuliah. Walaupun dengan fasilitas sederhana, mahasiswa dapat lebih fokus pada proses belajar tanpa dibebani secara psikologis dan finansial untuk mengurus akomodasi dan segala tagihan. Terlepas dari kekurangan yang ada, pemerintah Cina terlihat sebagai sosok yang serius dan tidak tanggung-tanggung berinvestasi untuk pendidikan. Hasilnya, banyak program master di negara-negara Barat dilamar oleh sarjana-sarjana Cina yang usianya rata-rata 19 tahun. Hal ini dimungkinkan karena college (jenjang pendidikan selama satu tahun setelah lulus SMA) sudah banyak yang kompatibel dengan kurikulum S1 di negara barat, contohnya Inggris. Di India, tenaga-tenaga ahli teknologi informasi didukung dengan literatur yang murah dan penguasaan Bahasa Inggris yang baik. Implikasi dari bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah maupun ruang kerja adalah terbukanya akses yang luas. Sebaliknya, di Indonesia Bahasa Inggris masih menjadi ‚anak tiri’ yang kehadirannya dalam MKU (Mata Kuliah Umum) sering diacuhkan. Ditambah lagi penelitian di bidang ini masih sangat sepi perhatian pemerintah dari segi pendaan. Padahal Noam Chomsky, seorang filsuf sekaligus ilmuwan ternama, dengan berani mengatakan bahwa bahasa adalah kekuasaan. Penguasaan bahasa (terutama Inggris) selayaknya mendapat perhatian lebih dari pemerintah, baik dari penyediaan literatur, fasilitas berbasis teknologi maupun dukungan finansial untuk riset-riset yang lebih luas. Sebenarnya, masalah investasi pendidikan bukan terletak dari besarnya pendanaan tetapi juga pada kejelian untuk memanfaatkan sumber daya atau resources yang tersedia. Sebagai contoh adalah Burma, yang merupakan model keberhasilan pendidikan nonformal UNESCO, yang mampu menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat atau PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dengan ketiadaan gedung sekolah namun berkelimpahan literatur dan tenaga pengajar atau tutor.
Ketiga, dan yang paling penting, adalah konsistensi suasana keterbukaan atau transparansi yang merupakan tanda demokratisasi bidang pendidikan. Perlu terus menerus ditegaskan bahwa perguruan tinggi adalah mitra pemerintah atau kekuasaan, dan bahwa kritik dan permintaan bantuan yang keluar dari civitas akademika memiliki motivasi yang baik demi kemajuan bangsa. Hanya dengan sikap positif ini pembangunan pendidikan dan kebangsaan dapat merupakan kegiatan yang sinergis dan terintegrasi dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Yang terpenting adalah bukti bahwa manusia Indonesia setara di mata negara dalam hak intelektualitas. Setidaknya, walaupun belum tercipta kondisi ideal itu, bersikaplah seakan setiap orang itu setara…
Risa R. Simanjuntak M.App.Ling (UniMelb), M.A. (LeedsU)
Pengajar di universitas di Jakarta