Risa

February 1st, 2009

BEKERJA SAMBIL BELAJAR: SOLUSI JITU UNTUK PERKEMBANGAN KARIR

Bagi kebanyakan orang, belajar ditempuh penuh waktu demikian pula dengan bekerja. Jadwal kerja yang padat menyebabkan tak ada waktu tersisa untuk belajar formil. Namun, jika tersedia peluang untuk menempuh bangku kuliah, tidak ada salahnya bekerja sambil belajar. Dengan manajemen waktu yang baik serta beberapa tips, keduanya dapat menghasilkan manfaat maksimal.

Pertama, tentukan dulu komitmen, bahwa studi harus selesai. Dengan demikian, sesibuk apapun di tempat kerja tidak boleh menyurutkan niat untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan demi nilai yang membanggakan.

Kedua, pintar-pintarlah menjaga komunikasi di tempat kerja. Jika jadwal kuliah belum pasti sementara program kerja telah tersusun, diperlukan pengertian dari tempat kerja untuk mengganti shift atau jadwal yang tidak merugikan perkuliahan. Namun, ada kalanya proyek penting di tempat kerja tak dapat ditinggalkan. Untuk itu, aturlah strategi agar mata kuliah yang diambil bervariasi beban kesulitannya. Bacalah silabus atau deskripsi mata kuliah di awal semester agar mata kuliah yang dipilih dapat dikuasai sambil bekerja. Dengan komunikasi yang menawan, rekan kerja pun akan dengan senang hati bekerja sama dan hasilnya pekerjaan kantor Andapun segera terselesaikan.

Ketiga, walau terkenal supel dan berwawasan luas, tidak bijak jika Anda terlalu sering hang-out atau pergi ke club sehabis kerja. Sebaiknya, waktu yang ada harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk membaca literature atau bahan-bahan kuliah di minggu-minggu berikutnya. Bayangkan teman-teman lain yang punya waktu lebih banyak sehabis kuliah untuk belajar sementara Anda harus berkutat dengan seabrek laporan dan kejaran deadline di tempat kerja. Oleh karena itu, waktu sepulang kerja adalah waktu emas yang Anda harus jaga untuk belajar. Bersosialisasi dapat tetap dilakukan pada hari Minggu atau pada masa-masa liburan kuliah. Ajaklah rekan kerja untuk berjalan-jalan ke luar kota atau sekedar makan di tempat yang unik. Gunakan kartu mahasiswa Anda untuk mendapatkan harga spesial pelajar.

Keempat, tengoklah peluang untuk karir yang lebih baik setelah lulus. Sambil menelusuri teori-teori perkuliahan, refleksikan sejenak apakah pekerjaan yang Anda lakoni telah menawarkan kestabilan finansial juga tantangan aktualisasi keilmuan. Jika pekerjaan Anda sekarang hanya memenuhi salah satunya, sebaiknya carilah peluang lain sembari Anda memoles kemampuan akademik. Tak jarang tawaran datang sebelum hari wisuda usai. Manfaatkanlah jejaring di kampus, baik sesama mahasiswa maupun dosen yang kerap melibatkan mahasiswa untuk penelitian maupun proyek lepas. Konduite yang baik serta kemampuan yang optimal akan membuat Anda dikenal dan diingat orang.

Fakta A:

Di Inggris, sebayak 90% mahasiswa bekerja selama liburan musim panas atau liburan semester, dan 60% mahasiswa tetap bekerja sambil kuliah selama semester berjalan.

Situs Universitas Manchester menyebutkan bekerja sambil kuliah memberikan banyak manfaat, seperti:

  • Keuntungan finansial karena mendapat uang dari bekerja
  • Memperjelas gambaran karir yang akan diambil setelah lulus
  • Memeroleh banyak keahlian yang nantinya akan meningkatkan daya saing
  • Memperoleh peluang lebih ketika melamar pekerjaan disbanding lulusan yang tidak memiliki pengalaman kerja

Sumber: www.studentnet.manchester.ac.uk

Fakta B:

Berbagai alternatif lain tersedia bila Anda tetap ingin meng-up-date ilmu tanpa menjadi mahasiswa penuh waktu, seperti:

  • Mengikuti program Universitas Terbuka; kuliah dapat ditempuh dengan memelajari modul secara mandiri, tatap muka tidak terlalu sering paling ketika ujian atau kuliah umum sehingga tidak perlu sering ijin dari kantor atau pulang kerja lebih dulu.
  • Bergabung dengan berbagai kursus; tersedia pula kursus online seperti kursus bahasa, tipe pembelajaran mandiri dan sangat fleksibel membuat gaya belajar ini nyaman bagi karyawan yang super sibuk.
  • Mengikuti semiloka intensif keahlian; ISO, SAP, HR, dan berbagai paket seminar dan lokakarya ditawarkan untuk menajamkan fungsi karir Anda. Carilah informasi tentang berbagai sertifikasi singkat dan ajukan proposal untuk pendanaan dan ijin dari tempat kerja. Paket semacam ini biasanya berdurasi beberapa jam sampai hari.

Risa R. Simanjuntak, S.S., M.App.Ling. (UniMelb.), M.A. (LeedsU)

Pengajar di salah satu universitas di Jakarta

February 1st, 2009

PENGALAMAN MENGGUNAKAN LAYANAN MELSA

Fasilitas sambungan internet nirkabel menawarkan kepraktisan dan kenyamanan. Salah satu yang menawarkan jaringan yang disebut hot spot adalah melsa. Bergabung dengan melsa tergolong mudah. Calon pengguna hanya diminta mengisi formulir pendaftaran yang beisi bio data calon pengguna dan pertanyaan lain seputar penggunaan teknologi selular. Setelah itu, calon pengguna tinggal menulis login name dan password yang dikehendaki. Dalam hitungan menit, petugas akan mengaktifkan account dan membawa dunia dalam keajaiban yang bernama Internet.

Bagi Saya yang bekerja di kampus, hadirnya layanan hot spot sangat menuntungkan. Pertama, karena fasilitas jaringan Internet yang disediakan kantor kadang drop. Hal ini cukup menghambat kinerja, tertutama ketika informasi yang didapat setelah susah payah mem-browse kemudian tak bisa diakses, sementara bahan kuliah sudah musti tersedia dan ada rekan lain yang sudah mengantri memakai PC. Yang terakhir merupakan alasan lain Saya lebih memiih hot spot. Satu unit komputer yang musti di bagi dengan 3/4 rekan lain tidak memberikan Saya waktu yang cukup untuk mencari data atau informasi di Internet. Dengan hot spot yang terhubung dengan laptop Saya dapat dengan leluasa mengakses Inernet, bahkan di luat jam kerja sekalipun.Menjadi pengguna melsa memberi kenyamanan ekstra buat Saya, Melsa memiliki titik layanan yang cukup banyak, mulai dari pusat perbelanjaan, sampai di kampus tempat Saya bekerja. Saya biasa login dengan melsa di antara waktu-waktu Saya memberikan kuliah sembari nge-net, sekaligus makan siang. Hal ini karena hot spot area yang tersedia berada di food court kampus. Saya jadi tidak harus bolak-balik dari ruang kelas ke ruang kerja/kantor untuk mengupdate bahan ajar, ke kantin untuk membeli makan siang, kemudian kembali lagi ke kelas, seperti yang Saya lakukan sebelumnya. Kemewahan ini berlanjut ketika Saya pulang dari kampus. Kebetulan tempat tinggal Saya berdekatan dengan pusat perbelanjaan yang menyediakan jaringan melsa. Setelah bebersih dan memakai busana yang lebih casual, Saya tinggal surfing lagi via melsa sambil makan malam di mall tersebut. Di luar jam kerja, sembari mengopi atau meluangkan waktu akhir pekan, Saya bisa puas mengakses Internet. Semuanya tanpa mengeluarkan serupiahpun.

Layanan melsa yang gratis sangat membantu profesi Saya. Tuntutan utuk selalu terdepan dalam bidang ilmu dan pengetahuan umum bagi dosen seperti Saya seringkali harus terjegal karena masalah biaya. Kalau sebelumnya Saya musti merelakan 15-50 ribu setia pekan untuk mengakses Internet di luar kantor melalu warnet, sekarang tidak lagi. Dengan melsa Saya bisa menyisihkan uang bulanan untuk membeli buku-buku referensi yang juga sangat penting artinya untuk seorang akademisi. Saya juga bisa membaca berita-berita harian cetak dengan gratis dan beragam tanpa perlu membeli beberapa jenis koran. Selain efisien, adanya fasilitas ini juga telah menambah kepercyaan diri karena wawasan yang semkin luas.

Selain bebas biaya, jaringan melsa juga tergolong kuat. Selama memakai fasilitas ini, sangat jarang sambugan Intrnet terputus atau akses yang lambat. Saya juga bebas men-download data yang Saya inginkan, tak seperti di kantor yang membatasi pengunduhan data. Di kantor Saya musti ‘memesan’ web-page atau link yang perlu di-download, dan seringkali prosesnya sangat lama dan tidak menjamin pada akhirnya dikabulkan karena batasan besarnya file yang boleh di-download, Di beberapa warung internet, kadang Saya juga perlu meminta ‘ijin’ administrator untuk mengakses informasi yang Saya kehendaki. Ini sangat berbeda dengan keleluasaan yang didapat selama menggunakan melsa, yang sangat cepat bakan ketika mendownload page yang besar ukuran datanya. Dibandingkan dengan layanan telkom-instan, yang kadang sagat lambat, atau sambungan via GPRS yang sangat mahal, melsa menjadi surga buat orang-orang yang memuja informasi seperti Saya.

Pengguna melsa yang semakin hari semakin bertambah karena baiknya layanan aplikasi dan sambungannya membuat melsa semakin digemari. Selain itu, selama mengakses, Saya tidak merasa terganggu dengan banyaknya jendela iklan yang berdesakan di halaman depan melsa. Saya juga tidak disodori lembar ‘ekstra’ yang mengimplikasikan survey atau promosi via sms/telepon yang kadang dilakukan oleh beberapa pihak pasca sebuah sevis.

Saya hanya berharap hadirnya fasilitas hot spot gratis bukan merupakan utopia atau promosi terselubung yang pada akhirnya memaksa pengguna yang sudah ‘ketagihan’ untuk membayar. Di Negara-negara maju, seperti Inggris dan Australia, sambungan Internet broadband seperti yang ditawarkan melsa sudah menjadi kebutuhan prmer. Namun demikian, fasilitas ini ditawarkna dengan paket-paket super murah yang proses aplikasinya sangat cepat degan kontrak jangka pendek yang tidak mengikat. Pelanggan tinggal memilih berbagai paket dengan jangka waktu yang ditawarkan, sesuai dengan kemampuan kantong calon pelanggan. Di kedua Negara tersebut, mahasiswa-mahasiswa yang tinggal serumah sering berpatungan untuk memiliki fasilitas yang tidak hanya menyambungkan mereka ke dunia maya Internet, namun juga hiburan kaliber dunia dengan TV kabel lewat paket broadband plus TV kabel yang ditawarkan. Seorang rekan Saya dari Cina bertutur bahwa orang-orang di nearanyapun telah dapat menikmati broadband murah meriah di negaranya, yang ditawarkan oleh perusahan telepon. Syaratnya tidak njelimet dan langsung tersambung dalam hitungan 24 jam, sama seperti proses standar permohonan sambungan telepon di Cina. Di Indonesia Saya masih pesimis hal ini dapat terwujud. Selain teknologi masih merupakan barang mewah, pengalaman aplikasi berbagai layanan mengajarkan bertele-telenya sistem di Indonesia.

Risa R. Simanjuntak, S.S., M.App.Ling. (UniMelb), M.A. (LeedsU)

Pengajar di salah satu universitas di Jakarta

February 1st, 2009

SATU BANGSA, SATU BAHASA: PENDIDIKAN ITU UNTUK MERDEKA

Seruan persatuan yang berkumandang hampir 8 dekade lalu terdengar menyisakan harapan. Menghadapi penjajahan yang keji Sumpah Pemuda menyatukan tekad untuk maasa depan yang lebih baik. Kini, 79 tahun berlalu, masa depan yang didambakan, tak kunjung terwujud juga.

Seruan satu bangsa, satu bahasa menyiratkan betapa sebelumnya bangsa kita terpecah-belah, terbelokkan dari tujuan utama untuk merdeka. Keteguhan tujuan, keadaan terdidik, atau yang oleh Newman disebut sebagai ‘philosophycal mind’, adalah jawaban dari kondisi porak poranda dan serba rentan kala itu. Kedaan terdidik adalah kondisi jiwa, pikiran, rasa dan karsa yang merdeka, yang mendorong setiap jiwa utuk memperjuangkan kesejahteraannya tanpa ancaman atau tekanan.

Namun, keadaan terdidik sampai saat ini tak kunjung terwujud. Pendidikan yang seharusnya memerdekakan justru membelenggu jiwa terpelajar dari memperjuangkan hak-haknya untuk sepenuhnya merdeka. Sebut saja Yohannes Surya, betapa berpeluh dan tercabik harapannya ketika memperjuangkan harkat dan martabat anak-anak daerah. Penghambat terbesar bukan sulitnya soal Olimpiade Fisika atau kedisiplinan anak-anak didiknya. Batu sandungan terbesar adalah ungkapan sinis, keraguan, dan tak adanya dukungan dari bangsanya sendiri, bahwa Indonesia dapat menang di Olimpiade Fisika tingkat dunia. Satu bahasa, bangsa kita dengan mudahnya lupa, dan kembali kepada keraguan dan takut, keadaan orang tak terdidik.

Salahkan pendidikan kita, atau lebih tepatnya salahkan pendidikan tinggi kita. Pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi obor penerang, tiang penyangga, biduk yang teguh, pemandu langkah pendidikan bangsa telah kehilangan visinya. Pendidikan tinggi kita telah menjadi pabrikan yang menghasilkan orang-orang yang tercetak serba sama. Produk-produk jadi yang dengan terpaksa kita sebut sarjana telah mampu memuaskan keterpakaian di dunia industri, tempat kerja dan berbagai profesi terpilih. Tetapi pertanyaan yang sama tetap tak terjawab: setelah kesamaan tekad itu, kemerdekaan apa yang telah diraih. Seberapa besar para sarjana kita telah mencerahi lingkungannya, memberikan dorongan dan inspirasi, jalan keluar bagi kesejahteraan social bangsanya?

Sepertinya penjajahan dan pecah belah ekonomi telah membuat bangsa ini kembali terjajah. Di universitas swasta hampir tidak ada lagi yang memasukkan Kuliah Kerja Nyata atau kerja social di kurikulumnya. Jawabannya sederhana: tidak efisien. Program pemerintah yang memberi jalan UKM menerima asistensi dari pendidikan tinggi-pun tak mendapat sambutan yang antusias dari para mahasiswa, lagi-lagi karena alasan yang serupa: mahasiswa tidak mendapat keuntungan ekonomi yang nyata. Pertanyaannya: bahasa apa yang telah dipakai pendidik di universitas sehingga bangsa ini terbentuk serupa: materialistis.

Tony Coadi dalam bukunya yang controversial “Why University Matters” menyalahkan kesalahkaprahan yang muncul sejak awal terbentuknya universitas. Walaupun ideal, ide ‘philosopycal mind’ tidak pernah sepenuhnya terwujud, bahkan sejak masa-masa awal berdirinya universitas-universitas besar seperti Oxford atau Cambridge. Buku yang telah dilarang terbit oleh institusinya sendiri Universitas Melbourne ditakuti semakin meruncingkan kontroversi mengenai keberadaan mesin cetak manusia berijasah ini.

Permasalahannya sekarang adalah bahasa. Bahasa apa yang perlu disepakati para pendidik tinggi agar kita terbebas dari penjajahan identitas sebagai manusia yang utuh. Apakah bahasa uang dan keuntungan lebih penting daripada bahasa intelektual dan himaniora? Apakah setelah selesai terjajah secara badani kini bangsa kita tak lagi bersatu padu menetang penjajahan jiwa yang lebih berbahaya.

Sekolah HIMMATA, Plumpang, Jakarta Utara, telah membuktikan bahwa kemiskinan bukanlah alasan bagi perwujudan ‘phylosophical mind’. Tanpa keraguan Siswandi, pendiri sekolah miskin ini, mampu membuktikan bahwa anak-anak yang tadinya berlarian di jalanan untuk mengamen dan mengemis telah menjadi pemikir-pemikir yang kreatif dan kritis. Mereka kini tidak lagi turun ke jalanan tetapi memakai rasa, rasa dan karsanya untuk membangun masa depan yang lebih baik. Merekalah pahlawan-pahlawan kecil yang telah menang atas penjajahan uang receh dengan percaya bahwa jika tekad ada semesta mendukung keberadaannya.

Sebebas Siswandikah jiwa-jiwa para pendidik tinggi? Mampukah bahasa kebebasan yang sama memerdekakan pengelola pendidikan tinggi dari ketakutan tak dapat lebih banyak mencetak lulusan tiap tahunnya dan memberi pekerja baru bagi pihak industri? Mampukah bahasa keyakinan mampu mendorong penyelenggara pendidikan tinggi tidak mencemaskan fasilitas dan dana yang tersedia namun berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan yang mentransformasi? Akhirnya, seruan satu bangsa, satu bahasa, adalah tekad untuk menciptakan manusia Indonesia yang merdeka, merdeka dalam berkarya, merdeka dalam berpikir, merdeka dalam mengasah budi dan panggilan jiwa untuk memanjukan diri sendiri dan bangsanya.

Risa R. Simanjuntak, S.S., M.AppLing.(Melb.)., M.A. (Leeds)

Pengamat dan Pelaku Pendidikan Tinggi

*7 October 2007

February 1st, 2009

INTERNET SELULAR UNTUK PEMBELAJARAN

Penggunaan internet selular saat ini begitu mudah dan cukup efisien. Yang pertama karena banyak provider internet yang menawarkan berbagai paket mobile-internet. Dari pra- bayar yang tanpa komitmen bulanan sampai pasca-bayar yang paketnya memberikan bonus modem dan kapasitas besar untuk akses di dunia maya. Efisiensi, walaupun relatif, diukur dari kemurahan dibanding harus antri internet, pergi ke warnet dan atau menunggu tiba di rumah atau meja kerja untuk mendapat informasi yang mendesak.

Jika dihitung, pemakaian internet selular jauh lebih murah dari pada sambungan internet statis. Sebagai contoh saya memakai pasca bayar tipe klasik dengan kapasitas unduh sampai dengan 700 Megabyte seharga 160.000/bulan. Rata-rata saya menggunakan layanan koneksi lewat IM2 ini selama 2-3 jam/hari. Jika ditotal pemakaian kapasistas saya selalu tidak pernah lebih dari 500M. jika pola ini saya terapkan untuk setiap kali kunjungan ke warnet yang biayanya 5000 rupiah/jam, per bulan saya harus menganggarkan sekurangnya 300 ribu rupiah untuk berinternet. Jika saya bermaya dengan telkomnet instan, perjamnya saja saya sudah harus membayar sekitar 60ribu rupiah.

Saya sendiri sudah hampir setahun mencoba internet seluler. Saat ini memanfaatkan external modem HSDPA dengan sambungan pasca bayar salah satu provider selular saya dapat mengelola pembelajaran di manapun menggunakan Mac Book saya. Dengan internet selular, banyak keuntungan dari efektivitas penggunaan internet selular yang saya raih.

Pertma, dengan internet selular saya dapat lebih sering online dan berkomunikasi dengan mahasiswa, menjawab berbagai pertanyaan yang tidak dapat dikomunikasikan di dalam kelas karena keterbatasan waktu dan ruang. Ruang tak lagi menjadi masalah kaena dengan internet, komunikasi dengan beberapa orang sekaligus dapat terjadi, secara online dan off-line.

Kedua, terdapat otonomi yang lebih dengan internet seluler. Di kelas dan dalam pertemuan kelompok, saya merasa terbatasi untuk menyampaikan berbagai materi. Hal ini dikarenakan kurikulum yang telah ditentukan dan tidak dapat diubah sewaktu-waktu. Namun, untuk penugasan harian, adanya internet selular memampukan bahan-bahan dari berbagai situs dapat saya gunakan untuk mendampingi bahan yang telah diprogramkan tersebut. Dengan demikian, bahan kuliah saya menjadi semakin variatif.

Selain itu, dengan berinternet di mana saja, saya dapat segera mencari bahan dan data yang saya perlukan kapan saja dibutuhkan. Jika harus kembali ke meja saya dan atau memakai fasilitas komputer umum yang tersedia di ruang akademis dosen atau perpustakaan, akan lebih banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk menunggu. Dengan internet seluler, saya tidak perlu menunggu, karena bahan yang saya butuhkan dapat saya unduh bahkan ketika sedang istirahat makan siang sebelum kembali lagi ke kelas.

Tak jarang mahasiswa saling berbagi informasi melalui fasilitas messenger dan kesempatan online tak terbatas ini yang sangat berharga untuk dilewatkan. Di dunia maya tidak ada hirarki seperti yang ada di suasana kelas yang cenderung kaku dan penuh aturan. Komunikasi pembelajaran yang terjalin melalui internet serba santai namun masih menjaga kesopanan dan etika berbahasa. Akhirnya, transfer pengetahuan terjadi dengan alamiah dan mahasiswa lebih banyak bertanya dan tak jarang mengkritisi bahan yang disampaikan di kelas sebelumnya. Hal ini menguntungkan, karena saya akan banyak mendapat masukan berharga dari mahasiswa untuk pengembangan proses ajar.

Dan tak keringnya keuntungan lain yang saya dapatkan adalah kesempatan saya untuk menjawab kebutuhan mahasiswa secara lebih spesifik. Ketika chatting dan mahasiswa bertanya sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, saya akan menghemat waktu ketika masuk di sesi berikutnya, karena dua hal. Satu, suasana di kelas akan cenderung lebih cair karena komunikasi chatting cenderung bersifat bersahabat sehingga mahasiswa/i merasa lebih nyaman ketika bertemu saya di kelas. Kedua, mahasiswa tidak harus menunggu sampai minggu depan untuk mendapat jawaban atas pertanyaan atau ketidakpahaman materi sehingga lebih siap untuk menerima materi baru dan waktu yang dibutuhkan untuk mengulas materi sebelumnya menjadi lebih pendek.

Dengan internet, terutama fleksibilitas yang ditawarkan internet seluler, terbentuk pembelajaran yang lebih berkesinambungan. Yang paling penting adalah mahasiswapun memegang kendali atas pembelajaran, dengan menjadi lebih aktif bertanya dan terjadi proses bertanya dan berdiskusi dan alamiah dalam bentuk komunikasi berbasis internet. Paulo Freire dalam bukunya Pedagogi Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), mewajibkan pertukaran pradigma dalam pembelajaran, dari mahasiswa si ‘patuh’ yang ‘tak berdaya’ menjadi ‘pusat pengembangan diri’. Internet memberikan kuasa bagi mahasiswa untuk melengkapi pengetahuan dan kekurangan yang dibutuhkan, tanpa harus bergantung pada dosen yang akan mem’perkaya’ atau seolah membuat mahasiswa lebih pintar. Terus-menerus mahasiswa dapat menjadi lebih manusiawi karena proses pembelajaran tak akan putus dengan tersedianya akses ke pengetahuan dan informasi 24/7 sepanjang tahun.

Dengan internet seluler, saya sebagai dosen juga mendapat beragam-ragam pengayaan diri dan pengetahuan. Di manapun dan kapanpun saya dapat memeroleh berita terkini, isu social dan keilmuan yang terbaru dan terbaik dengan kebebasan penuh untuk memilih dan mengunduh informasi. Hal ini penting karena saya perlu memberikan sebanyak mungkin contoh untuk membuat teori menjadi lebih masuk akal dan berguna. Dengan contoh, kiasan dan konsep-konsep abstrak dalam buku teks dapat lebih terbayangkan. Tujuannya agar mahasiswa dapat segera mendapat acuan untuk merefleksikan inti sari pelajaran. Banyaknya contoh kasus akan menjembatani teori dan pengalaman. Mahasiswa akhirnya akan menjadi lebih mudah untuk mencari contoh-contoh lain yang lebih relevan maupun lebih tajam sesuai dengan kebutuhan dan minat pengembangan keilmuannya. Menurut Freire lagi, terjembataninya teori dengan praktik inilah yang disebut praxis—tindakan yang berpengetahuan- yang akhirnya mendatangkan kebebasan yang sejati untuk belajar.

Jika sebelumnya saya sering mengeluh tentang terbatasnya ketersediaan buku yang up-to-date untuk mata kuliah yang saya ampu, sekarang tidak lagi. Ada begitu banyak sumber tulisan, berupa e-book, artikel jurnal atau penelitian, catatan kuliah atau silabus yang dapat saya unduh secara gratis di internet. Saya tak perlu lagi cemas ketinggalan berita atau menjadi culun karena tak paham hasil penelitian terakhir di bidang ilmu saya.

Namun, terdapat keterbatasan dan harapan saya sebagai pengguna internet seluler. Salah satunya adalah masih sedikitnya titik maya atau hot-spot yang tersedia sehingga membatasi inisiatif berinternet. Untungnya saya memiliki HSDPA tetapi hal ini juga kadang merepotkan karena berarti membawa dan menyambungkan alat tambahan.

Kedua, saya masih mengalami kesulitan mengunduh materi dengan ekstensi video atau real-time, seperti rekaman kuliah atau ketika sedang bercakap dengan webcam. Hal ini disebabkan koneksi internet yang kadang terputus. Akibatnya tidak hanya kenyamanan dalam berkomunikasi yang terganggu, tetapi proses download atau streaming juga biasanya harus dimulai sejak awal lagi. Diharapkan provider dapat menawarkan kecepatan sambungan dan kenyamanan yang lebih untuk kebutuhan semacam ini.

Pada umumnya internet selular masih dirasa mahal untuk dinikmati. Jika para provider dapat menawarkan paket yang lebih ekonomis, seperti paket pelajar dengan multi-user atau paket trial yang bebas beaya, tentunya kebutuhan akan internet selular akan lebih cepat tercipta. Di kota-kota besar seperti Jakarta, selayaknya internet selular sudah bukan lagi barang asing dan mahal.

Risa R. Simanjuntak, S.S., M.App.Ling. (Unimelb), M.A.

Pengajar salah satu universitas swasta di Jakarta

*1 June 2008

February 1st, 2009

BELAJARLAH SAMPAI KE NEGRI CHINA

Tammy (Tan Sai Tao), seorang mahasiswa dari negeri China sedang mengambil studi Master Rumah Sakit di Inggris. Ia merupakan salah satu dari ribuan mahasiswa lain yang setiap tahunnya membanjiri negeri Ratu Elizabeth ini utuk menuntut ilmu.

Di negeri asalnya, anak seorang dokter ini mengaku berasal dari keluarga menengah ke bawah di kota kecil perbatasan Cina-Vietnam. Namun, ayahnya yang sangat mempedulikan pendidikan merelakan tunjangan masa tuanya agar anak semata wayangnya dapat menuntut ilmu walau ke negri yang jauhnya hampir sehari penuh perjalanan udara.

Tammy menuturkan, di China orang tua berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Kalau perlu bahkan sampai ke luar negri. Semua ini karena pendidikan dianggap dapat pula meningkatkan peluang untuk bekerja dan berbisnis. Selain itu, pendidikan menjadi bagian penting budaya, yang telah ada sejak 5000 tahun silam.

Niat yang kuat ini didukung pula oleh berbagai kemudahan dari Pemerintah Cina. Menurut catatan Asosiasi Universitas dan Sekolah Tinggi Cina, ada sekitar 6juta mahasiswa yang terdaftar di 2000 universitas di Cina. Untuk mengakomodasi kebutuhan mahasiswa tersebut, pemerintah tak segan memberikan berbagai fasilitas penunjang, dari asrama, koneksi internet murah, sampai bea siswa. Tidak hanya mahasiswa local saja yang bisa menerima bea siswa, namun juga bagi mahasiswa yang berasal dari luar negri. Tercatat, di tahun 1999 saja, ada sebanyak 5211 mahasiswa luar negri yang dibiayai pemerintah Cina.

Menurut penuturan Tammy pula, ketika ia kuliah S1 di negaranya, tersedia asrama yang wajib ditinggali oleh mahasiswa. Pertimbangan utama adalah agar mahasiswa dapat berkonsentrasi dalam belajar, mudah mengikuti perkuliahan, karena lokasinya yang berada di areal kampus, serta meringankan biaya pendidikan Kedokteran yang cenderiung tinggi. Fasilitas ini, termasuk makan di pagi hari bagi setiap penghuni asrama, dibiayai oleh Negara.

Kontras dengan di Indonesia, jangankan fasilitas asrama, untuk mendapat subsidi uang kuliah yang sangat tinggi pun kadang dipersulit. Selain itu, fasilitas internet menjadi monopoli orang-orang di kota besar.

Berbeda dari Indonesia, China membanjiri warganya dengan akses informasi yang murah. Setiap rumah tangga yang memiliki sambungan telepon biasanya juga memiliki akses Internet. Ini dikarenakan cepatnya fasilitas pemasangan sambungan, 24 setelah aplikasi, sedangkan biaya sambungan Internet broad band hanya sebesar Rp 15 ribu saja per bulan bagi mahasiswa.

Sementara itu, di China, pemerintah juga memberikan bantuan dalam pengadaan bahan ajar. Tammy menuturkan buku-buku teks yang dipakai selama perkuliahan bisa dinikmati mahasiswa kedokteran secara gratis. Fasilitas ini ditanggung penuh oleh pemerintah daerah.

Pemerintah China memberikan batuan yang maksimal dengan harapan rakyat lebih leluasa memilih jurusan Kedokteran. Dukungan penuh dari pemerintah dipercaya dapat mempercepat kelulusan para dokter yang akhirnya akan menerjunkan lebih banyak tenaga kedokteran di masyarakat. Alhasil, lebih banyak orang yang dapat terlayani secara medis.

Pemerintah China agaknya menyadari betul arti penting kesempatan belajar dan teknologi sebagai jembatan ke masa depan yang lebih baik. Sejumlah besar uang yang diinvestasikan untuk memajukan pendidikan dan layanan penunjang, seperti Internet, tak pelak lagi telah dapat kita saksikan hasilnya. Lihat saja pertumbuhan ekonomi di negeri Panda yang mencapai level tercepat di dunia. Perkembangan teknologi kedokteran dan teknologi informasi di China-pun telah dapat membuat Negara-negara Barat mulai beralih untuk memakai jasanya.

Tammy memilih Pendidikan Manajemen Rumah Sakit karena ia menyadari bahwa jasa medis di negerinya memiliki pasar atau konsumen di dunia. Tammy menuturkan lebih lanjut bahwa banyak juga orang Indonesia yang datang ke rumah-rumah sakit di China untuk menjalani operasi dan pengobatan kanker.

Alhasil, menurut Tammy, rumah-rumah sakit berlomba untuk menarik pasien dengan memberikan layanan yang terbaik. Tammy yang berambisi untuk mendirikan rumah sakit sendiri di kemudian hari kini menjadi dokter perusahaan minyak lepas pantai. Dia bagai membuka kliniknya sendiri di atas perairan luas.

Sisi entreprenuership bukan merupakan barang baru bagi bangsa China. Kita sebenarnya dapat juga mengembangkanya dalam sistim pendidikan tinggi. Hal ini telah termaktub dalam KPPTJP (Kerangka Pembangunan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang) 2003-2010. Dirjen Pendidikan Tinggi memiliki target untuk dapat menciptakan lulusan yang dapat berkompetisi di dunia luas.

Sementara itu, pendidikan tinggi kita masih dibayang ketakutan rendahnya sarjana yang terserap di pasar kerja. Jumlah pengangguran yang cukup besar di negara kita juga mencakup para sarjana. Hal ini sungguh merupakan ironi. Di satu sisi, keeksklusifan jenjang pendidikan tinggi ini tidak dibarengi dengan kesuksesan berupa peningkatan kualitas kehidupan.

Hal ini sungguh berbeda dengan para mahasiswa di China yang pada umumnya berpikir untuk mencari peluang baru. Di Inggris, tiap tahun terdapat sejumlah besar mahasiswa baru di jurusan bisnis yang termotivasi untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.

Para mahasiswa itu mengakui, gelar luar negeri yang mereka kantongi tidak hanya akan mempermudah mereka mencari pekerjaan di berbagai tempat. Namun juga akan meningkatkan posisi tawar mereka ketika hendak membuka peluang usaha sendiri di negeri asal, China.

Di Indonesia, terdapat pemikiran yang keliru. Pendeknya masa studi sebuah jenjang perguruan tinggi dianggap sebagai cermin kualitas pendidikan tinggi. Demikian juga halnya biaya kuliah yang mahal dan fasilitas yang mewah seakan menandai pendidikan tinggi yang berkualitas. Hampir di seluruh institusi, penekanan kepada rasio mahasiswa dosen merupakan tolok ukur keberhasilan institusi pendidikan tinggi. Jika jumlah sarjana yang tercetak meningkat, sebuah institusi pendidikan tinggi dinilai sukses dan menjadi incaran banyak orang.

Namun demikian, pemerintah belum menunjukkan komitmen untuk mewujudkan impian ini. Di samping biaya kuliah yang mahal, fasilitas seperti koleksi pustaka dan teknologi masih jauh dibandingkan dengan yang ada di China.

Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Indonesia sebenarnya juga memiliki angan-angan bagi perkembangan teknologi bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Pemerintah kita melalui Dikti mengharapkan sarjana-sarjana yang mampu berinovasi dan dapat memajukan riset di negeri ini. Namun demikian, kerja nyata pemerintah belum dapat dirasakan hingga kini.

Ada beberapa solusi yang dapat diimplementasikan. Pertama, pemerintah harus menambah anggaran di bidang pendidikan tinggi. Penambahan anggaran dikosentrasikan pada dua hal: pertama perluasan peluang bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan tinggi dan kedua penerapan teknologi bagi pendidikan tinggi. Yang terakhir ini vital untuk merealisasikan kemajuan keilmuan, khususnya dari sisi riset.

Kedua, pemerintah harus menyosialisasikan arti penting entrepreneurship kepada masyarakat. Ini penting karena dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan Indonesia adalah menciptakan masyarakat yang cerdas, baik, dan beragama.

Cerdas mengacu pada keutamaan intelektualitas atau hard-skill. Baik berarti keluhuran budi pekerti atau soft-skill, yang akhir-akhir ini menjamur ditawarkan dalam bentuk program-program pengembangan kepribadian. Sedangkan beragama mengacu kepada kemajemukan agama atau aliran kepercayaan di Indonesia, yang menjunjung tinggi sisi spiritualitas atau keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa. Sisi spiritualitas cenderung ditinggalkan oleh masyarakat modern karena lebih mengutamakan kesuksesan materi.

Adalah tugas pemerintah dan masyarakat pendidikan tinggi untuk mewujudkan kaum intelektual yang berkeimanan. Hal ini akan menjadi nilai lebih bagi pendidikan tinggi Indonesia.

Kita tidak hanya memiliki peluang namun juga dapat belajar dari pengalaman China. Tahun ini saja terdapat mahasiswa yang berasal dari 164 negara asing yang belajar di perguruan tinggi di Cina. Sebanyak 24511 orang mahasiswa berasal dari Indonesia. Tentu saja tujuannya bukan untuk menyerap ilmu secara mentah-mentah namun harus mampu mengadaptasi kunci sukses China sesuai dengan konteks budaya dan kepercayaan kita. Memangdiperlukan waktu yang tidak sebentar tetapi tidak ada kata terlambat untuk belajar.

Risa R. Simanjuntak, S.S., M.App.Ling. (UniMelb), M.A. (LeedsU)

Pengajar di salah satu universitas Jakarta

*6 Maret 2007

February 1st, 2009

ERA INFORMASI, ERA PEMBELAJARAN MANDIRI

Thomas L. Friedman dalam bukunya “The World is Flat” menerawang informasi sebagai kapital baru dunia. Dunia digambarkan menjadi semakin horizontal disebabkan oleh makin beragamnya kebutuhan manusia. Berbagai upaya pemenuhan kebutuhan bertumpu pada informasi yang menghubungkan pihak konsumen dengan industri.

Industri secara umum diterima sebagai sekumpulan kegiatan usaha untuk memenuhi sekumpulan kebutuhan. Dalam prosesnya, industri melibatkan pihak konsumen, kebutuhan dan pemasok kebutuhan. Beragamnya kebutuhan manusia tidak lagi terbatas pada produk dan jasa namun juga informasi. Yang terakhir ini kini merupakan hal yang memiliki nilai sangat tinggi.

Era informasi bertumpu pada pengetahuan yang bernilai strategis. Informasi menjadi komoditi yang sangat penting dan bernilai tinggi. Informasi sangat penting karena dengan informasi kebutuhan dapat terpenuhi dengan mudah dan murah. Informasi bernilai tinggi karena memungkinkan terciptanya berbagai inovasi.

Oleh karenanya diperlukan kecakapan informasi atau information literacy agar dapat sukses berkarya dalam era informasi ini. Kecakapan informasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengenali, memperoleh dan menggunakan dengan maksimal informasi yang dibutuhkan. Ditambahkan pula untuk mendayagunakan informasi seseorang harus menjunjung tinggi kode etik sehingga tidak melanggar hak-hak orang lain. Sebagai contoh pelanggaran kode etik itu adalah plagiarisme atau pelanggaran hak cipta.

Pemanfaatan informasi dan hubungannya dengan kecakapan informasi dapat ditemui hampir di semua lini kehidupan. Seorang pengusaha akan sangat bergantung pada informasi mengenai bagaimana memperoleh bahan baku yang murah, teknologi yang efisien, dan lokasi yang tepat untuk memasarkan produknya. Seorang karyawan akan dinilai kinerjanya berdasarkan kecakapannya mengatasi berbagai tantangan kerja dengan cara yang kreatif dan efektif. Mahasiswa harus memiliki strategi agar informasi yang diterima di bangku kuliah dapat dikembangkan untuk keperluan studi lanjut maupun peluang kerjanya kelak. Kecakapan informasi menjadi hal yang penting untuk diajarkan pada semua orang.

Peran institusi pendidikan untuk mengembangkan kecakapan informasi sangatlah besar. Hal ini dimungkinkan dengan paradigma pendidikan baru yang bertujuan menciptakan pembelajar yang mandiri. Pemerintah melalui Kerangka Pembangunan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPTJP) 2003-2010 menekankan pentingnya peran Pendidikan Tinggi sebagai incubator bagi pembangunan social-ekonomi negri ini. Hal ini berarti universitas di Indonesia wajib memikirkan berbagai inovasi yang menitikberatkan pada penerapan atau pemanfaatan informasi atau pengetahuan bagi kepentingan pembangunan. Oleh karenanya peran institusi pendidikan tinggi di Indonesia adalah untuk menekankan dalam proses pembelajarannya sisi aplikasi dari ilmu yan diajarkan. Hal ini merupakan komponen dasar kecakapan infomasi, yaitu ketrampilan untuk menerapkan dan mengembangkan pengetahuan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal.

Sementara itu, UNESCO mendengungkan pentingnya menciptakan pembelajar sepanjang hayat. Dengan ini pendidikan diharapkan tidak hanya terjadi di bangku pendidikan formal, maupun dalam bentuk pembelajaran kolektif. Dengan terbentuknya pembelajaran sepanjang hayat, belajar dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, sepanjang hidup seorang pembelajar. Sifat kemandirian ini sangat penting karena salah satu misi Millenium Development Goals (MDG) adalah untuk memberikan pendidikan bagi setiap orang, atau Education for All. Dengan terbukanya akses pada pengetahuan di era informasi ini, diharapkan tidak ada seorangpun yang tertinggal untuk mendapatkan manfaat dari perkembangan dunia.

Misi untuk memaksimalkan potensi pembelajar melalui pemanfaatan informasi menciptakan pembelajar mandiri. Pembelajar mandiri adalah seseorang yang termotivasi untuk melengkapi diri dengan informasi yang diperlukan, sementara berupaya untuk memperoleh dan memanfaatkan akses ke informasi yang dibutuhkan tersebut. Seseorang yang duduk di bangku kuliah pada saat yang bersamaan dapat menjadi seorang pembelajar mandiri. Hal ini terjadi ketika ia dengan sadar dan aktif mencari berbagai jenis informasi untuk melengkapi atau menambah pengetahuan yang telah diterimanya dalam perkuliahan. Ia menjadi seorang pembelajar mandiri yang mampu mengelola peluang yang tersedia untuk menjadi lebih berpengetahuan dan trampil di bidang ilmu datau keahliannya.

Menurut Gardner dan Muller dalam bukunya “Establishing Self-Access” pembelajaran otonom ditandai dengan bertumpunya proses pembelajaran pada kebutuhan pembelajar. Oleh sebab itu, diperlukan peran aktif pembelajar untuk mengetahui kebutuhannya akan pengetahuan. Yang juga termasuk dalam kebutuhan adalah harapan dan keinginan pembelajar di masa datang. Hal ini penting karena pemajanan (exposure) informasi atau pengetahuan harus berkesesuaian dengan fungsi aplikatif dari informasi tersebut. Dengan demikian, ilmu atau informasi yang didapat adalah yang sesuai dengan kebutuhan dan data langsung dimanfaatkan oleh pembelajar.

Oleh sebab itu, di era informasi ini, perlunya pembelajaran mandiri tidaklah dapat terelakkan. Pembelajaran mandiri dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah dengan menciptakan berbagai akses ke informasi yang dibutuhkan. Terciptanya Self-Access Centers, yang menyediakan berbagai materi dan referensi untuk belajar mandiri, merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap pembelajaran mandiri. Di sini, siswa dapat mendalami pokok bahasan tertentu dengan memanfaatkan referensi, lembar kerja ataupun fasilitas multi-media yang ada.

Salah satu contoh Self-Access Centers yang telah berdiri di banyak universitas dan pendidikan tinggi di Indonesia adalah yang dimanfaatkan untuk pembelajaran bahasa asing. Mahasiswa yang datang dapat belajar sesuai dengan kebutuhan ketrampilan bahasa yang diinginkan. Mahasiswa dapat mengatur sediri kecepatan belajar, yaitu jumlah jam dan intensitas belajar menggunakan bahan-bahan ajar yang tersedia di unit ini.

Bentuk dukungan lain adalah tersedianya pembelajaran yang bersifat online. Dengan cara pembelajaran jarak jauh ini siswa mendapat kemudahan untuk belajar di mana saja dengan pemanfaatan akses Internet. Pembelajaran jarak jauh menjadi salah satu kunci percepatan pembelajaran mandiri di era informasi ini. Dengan tersedianya akses yang luas, pembelajar dapat benar-benar meraih otonomi bagi pembelajarannya.

Peran pengembang institusi pendidikan tinggi akan sangat signifikan bila peluang ini dimanfaatkan dengan baik. Era informasi telah menciptakan revolusi pembelajaran. Hasilnya institusi pendidikan bukan menjadi sumber utama bagi tersedianya informasi. Lebih jauh, institusi pendidikan juga harus mampu menawarkan berbagai peluang bagi pembelajaran mandiri. Dengan pemanfaatan teknologi yang baik, pembelajaran mandiri akan berjalan dengan maksimal.

TIPS PEMBELAJARAN MANDIRI:

  • Cari sumber-sumber informasi yang terpercaya
  • Rancangkan jadwal pembelajaran yang bisa diterapkan
  • Manfaatkan teknologi mutakhir yang tersedia, misalnya e-books ketimbang buku cetak, website dengan materi yang dapat didownload secara gratis

Risa R. Simanjuntak, M.AppLing (Melbourne), M.A. (Leeds)

Pengajar di universitas di Jakarta

*16 July 2007

February 1st, 2009

PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA JALAN DI TEMPAT

Mengukur kemajuan Pendidikan Tinggi Indonesia dengan negara-negara maju mungkin tidak pada tempatnya. Sejarah, fasilitas, dan kejelasan kebijakan serta komitmen pemerintah di Negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat dan Jepang untuk memajukan pendidikan di level terakhir hirarki pendidikan formal ini relatif lebih kaya dan matang. Di samping itu, konteks budaya dan ideologi yang berbeda membuat evaluasi dengan parameter yang seragam seumpama membandingkan apel dan jeruk. Namun, visi pendidikan untuk menyempurnakan manusia ciptaan merupakan benang merah yang menghubungkan satuan-satuan pendidikan tinggi di manapun di planet ini. Kenyataannya, walaupun hampir seabad sejarah perkembangannya perguruan tinggi kita, dibandingkan negara-negara tetangga kitapun, seperti jalan di tempat.

Faktor ekonomi sebagai kambing hitam seringkali meloloskan penentu kebijakan untuk lebih serius mengupayakan percepatan pendidikan tinggi. Padahal, secara yuridis, dasar fungsi dan tujuan sistem pendidikan nasional dengan jelas telah memutlakkan komitmen Negara untuk menjadikan manusia Indonesia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20, tahun 2003 tentang SisDikNas). Masalahnya, gambaran yang abstrak dari kesempurnaan insan didik tidak dibarengi dengan pengejawantahan sehingga seluruh nilai luhur tak mampu tervisualisasikan. Sebagai pembanding, pemerintah Malaysia dengan jelas menargetkan lulusan yang dapat terjun di masayarakat industri pada tahun 2020. Lebih jauh dari catatan UNESCO di tahun 2003 tentang „Peran Penyediaan Transnasional, Swasta, dan Berorietasi Laba dalam Menyongsong Tuntutan Global bagi Pendidikan Tinggi: Pemetaan, Regulasi dan Pengaruhnya“ menargetkan kemampuan entrepreneurship atau kemandirian berusaha, keilmuan serta nilai kultur hitoris dan religius yang berimbang yang harus dimiliki setiap warganya pada tahun 2020 itu. Jelas penyebabnya adalah pasar terbuka yang di tingkat ASEAN telah mulai digenjot sejak Januari 1992 silam, walaupun dengan hasil yang mengecewakan, setidaknya dari segi peningkatan kegiatan dagang dan investasi. Sementara itu, Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) menghendaki lulusan yang terpenuhi kebutuhannya, berkembang kemampuan intelektualnya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, serta yang dapat berkontribusi pada daya kompetitif bangsa. Hal ini termaktub dalam Kerangka Pembangunan Perguruan Tinggi Jangka Panjang (KPPTJP) IV, periode 2003-2010. Parameter yang ambisius ini tidak jelas acuan kualitasnya, sekaligus abstrak sebagai penentu fokus masyarakat didik, khususnya satuan-satuan pendidikan, yang selayaknya diharapkan dari sebuah kerangka kerja. Akibatnya, muncul stigma kebijakan-kebijakan pendidikan di negara kita yang cenderung politis daripada berorientasi kepada karya, karena bahasa konsep yang muluk-muluk tidak berbentuk.

Dari sisi statistik banyak yang bisa dijadikan bahan refleksi dari pengalaman negara tetangga kita ini, yang dulu sempat mengagungkan dan belajar dari perguruan-perguruan tinggi nasional kita. Dengan populasinya yang hanya paling banyak setengah dari populasi Indonesia, Malaysia memiliki daya beli pendidikan sebesar 30% dari penghasilan kotornya perkapita. Hal ini cukup memilukan mengingat pembelanjaan negara untuk sektor ini di Indonesia belum mencapai 20% dari 40% yang menjadi target pemerintahan SBY. Bayangkan saja, jika dana sebesar ini merupakan subsidi pemerintah dan rata-rata perkapita pembelanjaan pendidikan hanya mampu sebesar 13% (data dari Dikti), betapa rendahya kemampuan masyarakat kita untuk berperan aktif dalam pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hanya orang-orang berkemampuan ekonomi menengah ke atas saja yang mampu membeli jasa pendidikan tinggi di negara ini. Anehnya, kalau pendidikan masih merupakan kemewahan, mengapa sekolah-sekolah dengan kurikulum gado-gado, antara kurnas, kurikulum lokal/berbasis sekolah, dengan lisensi dari negara-negara seperti Amerika, Australia dan Singapura yang kini tengah menjamur, tetap memiliki cukup murid di setiap tahun ajarannya. Tentu saja dalih para orang tua yang berkorban secara finansial dikarenakan sangsi terhadap kualitas sekolah normal, bukan yang plus atau bertajuk home-schooling, dan bukan karena kelimpahan finansial. Namun ada penjelasan lain atas mahalnya biaya pendidikan dan rendahnya tingkat kesejahteraan tenaga pendidik yaitu bahwa lagi-lagi pemerintah yang kurang serius mendanai pendidikan nasional. Di tingkat pendidikan tinggilah kemalasan ini terakumulasi, sehingga universitas-universitas kita mendapat bukannya mendapat cap universitas pengajaran (teaching universities) atau universitas penelitian (research universities) tetapi universitas pabrik, yang kerjanya mencetak lulusan bersertifikat tapi tidak siap terap. Perguruan tinggi kita tidak berlomba meningkatkan diri dari segi pencapaian kepengajaran dan hasil penilitian yang bisa berguna di masyarakat, tapi sibuk menyusun strategi untuk menggaet mahasiswa agar dapat terus beroperasi. Alhasil, kualitas lulusan menurun dan mencemaskan orang-tua yang mendanai sebagian besar proses didik anak-anaknya. Gelap mata, orang tua kemudian menganggap sekolah atau uiversitas yang mahal diharapkan menawarkan kualitas pendidikan yang lebih. Terbentanglah jurang antara penyelenggaraan pendidikan tinggi yang inklusif menyiapkan anak didik untuk berkiprah di masyarakat dengan yang bertujuan praktis eksklusif, agar dapat di terima di dunia kerja dengan bekal sertifikat dari perguruan tinggi ternama. Selayaknya kita sudah harus ganti ‚berguru’ pada Malaysia tentang komitmen finansial bagi pendidikan.

Kenyataan ini semakin menyadarkan keterbelakangan kita dan urgensi untuk mulai berlari mengejar ketertinggalan. Kalau tidak, target Malaysia untuk menjadi jantung penyedia pendidikan tinggi di ASEAN (seperti halnya Singapura) pasti akan memberikan pil pahit bagi pendidikan tinggi kita. Negara-negara lain pun rupanya memiliki ambisi yang sama. Sebut saja Jerman, Prancis, Belanda, bahkan Rusia, Ukraina, dan India yang dalam catatan UNESCO sudah dan sedang gencar-gencarnya berebut pasar sebagai yang terkemuka. Hasilnya sudah mulai bisa dirasakan dengan jejaring yang semakin rapat dan meluas yan dibina negara-negara tersebut untuk mempromosikan pendidikan tingginya. Di samping itu, perdagangan jasa pendidikan tinggi sudah sangat meluas. Tak heran jika universitas-universitas di Australia pun dipenuhi dengan tenaga-tenaga pengajar (dosen) yang berasal atau berkewarganegaraan India, di bidang ekonomi dan sains khususnya teknologi imformasi. Pada akhirnya mulai banyak universitas di Indonesia yang menjalin kerja sama dengan universitas luar negri dengan tingkat keterlibatan asing yang beragam. Sebut saja program internasional di beberapa universitas yang menggandeng universitas luar negri (baca: barat) dan bentuk kerja sama lain yang melibatkan content pengajaran maupun tenaga pengajar yang musti diimpor dari luar yang banyak dijalani unversitas-universitas swasta di Indonesia. Mirisnya, di sisi lain pemerintah mengakui bahwa satuan pendidikan swasta banyak bertumpu pada tenaga pengajar dari insititusi negri dari segi kualitas. Bila kita saja tidak mampu menjamin dari segi kualitas dan ketersediaan dosen, tak pelak Indonesia akan jadi sasaran empuk dosen-dosen dengan kompetensi tinggi dan biaya rendah, semisal India. Pukulan lain akan datang dari intelektual-intelektual kita yang bisa hijrah ke negara lain yang bersedia membayar lebih tinggi untuk keahliannya (braindrain) mengingat masih rendahnya tingkat apresiasi untuk kesejahteraan dosen di Indonesia. Kalau tidak segera ‚gumregah’ atau bangun dan bekerja, di masa datang kita terpaksa harus memakai ‚produk’ luar yang lebih berkualitas sementara kehilangan dosen-dosen yang brilian karena hendak ‚belanja’ (baca: bekerja dan sekaligus mengembangkan ilmu) di pusat atau jantung perguruan tinggi seperti di negara-negara di atas.

Ada beberapa hal yang menjadi fokus pendidikan tinggi kita agar tidak lagi jalan di tempat dan mati suri. Pertama, tersedianya rumusan kebijakan yang ringkas namun jelas. Hal ini termasuk turunannya, peraturan pemerintah dan kerangka pembangunan DIKTI, yang lebih ilustratif dan memiliki simpulan-simpulan yang lebih berbasis kepada data. Hal ini penting dikarena pendidikan adalah komitmen sepanjang hayat yang seharusnya merupakan kerja yang progresif dan bukan daur ulang kebijakan sebelumnya. Diperlukan juga perumus-perumus yang independen yang mampu melihat dengan jernih permasalahan yang terjadi dan yang dengan legawa atau berbesar hati belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah ada tanpa ditunggangi sentimen golongan atau pribadi. Langkah yang mulai ditempuh BAN-PT merupakan salah satu bentuk kemandirian (terinspirasi oleh QAA Inggris dan peer-review di Amerika yang melakukan akreditasi tanpa intervensi pemerintah) yang sayangnya masih setengah-setengah karena keanggotaannya ditunjuk oleh Mentri Pendidikan Nasional. Perlu juga konsistensi antara kebijakan dengan prakteknya di lapangan. Otonomi yang diberikan bagi perguruan tinggi nyatanya masih sering terjegal dengan aturan-aturan di tingkat operasional. Sebagai contoh adalah persamaan ijasah/gelar dari luar negri yang tidak pandang bulu, padahal kalau ditilik, peringkat perguruan tinggi kita di dunia masih belum bisa dikategorikan di atas rata-rata. Secara prinsip, kalau lulusan dari universitas OXFORD di Inggris harus disamakan atau disetarakan dahulu, terjadilah penurunan kualitas, atau dari segi pengakuan, tidak mendapat apresiasi lebih. Kebijakan lain yang berhubunga dengan penyediaan kependidikan transnasional, KPPTJP dengan jelas menyambut adanya peluan pihak asing untuk memajukan pendidikan di Indonesia, tapi pada kenyataannya banyak kendala baik dari segi perpajakan untuk buku-buku pelajaran maupun ijin kerja tenaga ahli. Ditambah lagi dari sisi perlindungan keamanan, pemerintah tidak dengan gagah memberikan jaminan bagi para profesor yang pada masa sabatikal-nya ingin mengajar atau melakukan penelitin di Indonesia secara terbuka. Kita sudah terlampau sering memberikan rumusan-rumusan, namun yang sebenarnya dibutuhkan adalah rumusan yang berasal dari akar rumput (grassroot) yang paling jujur menginformasikan apa-apa yang perlu dikerjakan demi kemajuan pendidikan tinggi. Pada kenyataannya, masyarakatlah yang merupakan stakeholder dari pendidikan tinggi. Kalau tidak, pengalaman di bangku kuliah akan menjadi pengalaman yang buruk/salah dan bukan yang seharusnya seperti yang diidealkan John Dewey demi tercapainya pembelajaran. Alih-alih menjadi penerang masyarakat dan agen perubahan, sarjana-sarjana kita hanya akan menjadi bagian dari menara gading yang semakin hari semakin memperlebar jurang antara masyarakat awam dan kaum elit.

Kedua, ditengah-tengah tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih belum gemilang, sebaliknya pendidikan perlu dibiayai lebih besar. Belajar dari pengalaman India, dan tak ketinggalan Cina, mahasiswa banyak sekali mendapat kemudahan dan fasilitas yang ditanggung oleh negara. Mulai dari buku-buku yang tercetak dengan kertas berkualitas lebih rendah (buram) yang menjadikan harga sangat murah, akses internet yang cepat dan sangat ringan biayanya. Salah seorang rekan dari Cina menuturkan bahwa hampir semua rumah tangga mampu memiliki sambungan internet broadband karena biayanya hanya sekitar £15 atau Rp 75 ribu perbulan untuk unlimited access yang siap pakai 24 jam setelah aplikasi pada provider. Di samping itu, bagi mahasiswa kedokteran, yang jam terbangnya sangat tinggi, disediakan asrama di lingkungan kampus yang biayanya sudah tercakup dalam biaya kuliah. Walaupun dengan fasilitas sederhana, mahasiswa dapat lebih fokus pada proses belajar tanpa dibebani secara psikologis dan finansial untuk mengurus akomodasi dan segala tagihan. Terlepas dari kekurangan yang ada, pemerintah Cina terlihat sebagai sosok yang serius dan tidak tanggung-tanggung berinvestasi untuk pendidikan. Hasilnya, banyak program master di negara-negara Barat dilamar oleh sarjana-sarjana Cina yang usianya rata-rata 19 tahun. Hal ini dimungkinkan karena college (jenjang pendidikan selama satu tahun setelah lulus SMA) sudah banyak yang kompatibel dengan kurikulum S1 di negara barat, contohnya Inggris. Di India, tenaga-tenaga ahli teknologi informasi didukung dengan literatur yang murah dan penguasaan Bahasa Inggris yang baik. Implikasi dari bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah maupun ruang kerja adalah terbukanya akses yang luas. Sebaliknya, di Indonesia Bahasa Inggris masih menjadi ‚anak tiri’ yang kehadirannya dalam MKU (Mata Kuliah Umum) sering diacuhkan. Ditambah lagi penelitian di bidang ini masih sangat sepi perhatian pemerintah dari segi pendaan. Padahal Noam Chomsky, seorang filsuf sekaligus ilmuwan ternama, dengan berani mengatakan bahwa bahasa adalah kekuasaan. Penguasaan bahasa (terutama Inggris) selayaknya mendapat perhatian lebih dari pemerintah, baik dari penyediaan literatur, fasilitas berbasis teknologi maupun dukungan finansial untuk riset-riset yang lebih luas. Sebenarnya, masalah investasi pendidikan bukan terletak dari besarnya pendanaan tetapi juga pada kejelian untuk memanfaatkan sumber daya atau resources yang tersedia. Sebagai contoh adalah Burma, yang merupakan model keberhasilan pendidikan nonformal UNESCO, yang mampu menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat atau PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dengan ketiadaan gedung sekolah namun berkelimpahan literatur dan tenaga pengajar atau tutor.

Ketiga, dan yang paling penting, adalah konsistensi suasana keterbukaan atau transparansi yang merupakan tanda demokratisasi bidang pendidikan. Perlu terus menerus ditegaskan bahwa perguruan tinggi adalah mitra pemerintah atau kekuasaan, dan bahwa kritik dan permintaan bantuan yang keluar dari civitas akademika memiliki motivasi yang baik demi kemajuan bangsa. Hanya dengan sikap positif ini pembangunan pendidikan dan kebangsaan dapat merupakan kegiatan yang sinergis dan terintegrasi dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Yang terpenting adalah bukti bahwa manusia Indonesia setara di mata negara dalam hak intelektualitas. Setidaknya, walaupun belum tercipta kondisi ideal itu, bersikaplah seakan setiap orang itu setara…

Risa R. Simanjuntak M.App.Ling (UniMelb), M.A. (LeedsU)

Pengajar di universitas di Jakarta

February 1st, 2009

MENJADI CERDAS TANPA KEHILANGAN JATI DIRI

Jessica membuka tudung saji di atas meja makan sambil merengut, “Mom, where’s my chicken nuggets and fries?” Sang Ibu, dengan bahasa Inggris yang patah-patah kemudian mencoba membujuk putrinya yang berusia 7 tahun itu untuk makan yang ada di meja: nasi dengan ayam goreng saus mentega dan oseng-oseng jagung muda. “Saya terus terang agag kerepotan karena dia maunya dengar teguran saya kalau pakai bahasa Inggris,” tutur Fransiska, yang memasukkan anaknya itu ke sekolah internasional di Jakarta. “Apalagi sekarang, Jessa paling malas main sama tetangga karena mereka tidak bisa bahasa Inggris, katanya,” sambung sang Ibu. Tren menyekolahkan anak ke sekolah internasional atau nasional plus, yang nota bene berbahasa pengantar Inggris, memang tengah marak di kota-kota besar Indonesia. Namun, salah satu dampak yang memrihatinkan adalah hilangnya akar budaya, salah satunya bahasa Indonesia. Kecenderungan ini, ditambah sikap kebarat-baratan seperti cerita di atas membuat kita jadi bertanya: apakah menjadi cerdas harus mengorbankan jati-diri.

Persaingan ketat di dunia kerja, ditambah bayang-bayang pasar bebas AFTA, membuat para orang tua mulai berinvestasi bagi pendidikan putra-putrinya. Misi mereka sederhana, agar kelak masa depan anak-anak mereka lebih cerah: mudah mendapatkan pekerjaan dan memiliki kesejahtraan yang baik. Hal inilah yang melatarbelakangi tren sekolah-sekolah plus yang walaupun biayanya bisa sepuluh kali lipat atau lebih dari sekolah-sekolah negri tidak pernah sepi pendaftar. Bahkan jauh sebelum tahun ajaran baru dimulai, jumlah siswanya telah mecukupi, seperti sebuah sekolah plus di bilangan Serpong yang telah menutup pendaftaran murid baru untuk tahun ajaran 2007/2008 sejak beberapa bulan lalu. Para orang tua tersebut sadar bahwa untuk menang dalam persaingan diperlukan kecerdasan, dan pendidikan dengan paket plus tampak sangat menjanjikan.

Hal lain yang menjadi pendorong adalah lebih terbukanya pemerintah pada pihak luar untuk ikut mengambil porsi dalam pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah plus kemudian mencampur kurikulumnya dengan kurikulum Singapura, Australia, maupun Amerika, yang sering dikenal dengan pola home-schooling-nya. Kurikulum home-schooling yang mulanya berkembang di kalangan missionary di Amerika, dianggap memiliki nilai tambah karena mengajarkan kemandirian, berpikir kritis, dan nilai-nilai social spiritual yang baik. Sikap positif pemerintah terhadap perubahan membuat pembelajar memiliki lebih banyak pilihan untuk meningkatkan kecerdasannya, melalui beragam pilihan sekolah.

Di tingkat perguruan tinggi, pemerintah juga sedang gencar-gencarnya mengembangkan semangat kompetisi untuk meningkatkan kualitas lulusan. Tujuannya serupa, agar sarjana-sarjana Indonesia dapat bersaing di dunia kerja, baik di dalam maupun luar negri. Bebagai program, seperti INHERENT (Indonesian Higher Education Network) yang mengusung penggunaan teknologi informasi, digitalisasi perpustakaan, dan pengelolaan HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) sebagai katalisator intelektulitas dan kompetisi pendidikan tinggi. Ditambah lagi, Badan Sertifikasi Nasional (BSN) juga gencar mengkampanyekan sertifikasi profesi yang menuntut sarjana tidak hanya cerdas namun juga siap terap di dunia kerja. Semua tuntutan dan peluang ini kemudian memacu para pemain pendidika tinggi untuk mengejar keunggulan keilmuan dan ketrampilan kerja.

Namun demikian, ternyata keterbukaan juga memiliki dampak yang kurang menyenangkan. Para mahasiswa akhirnya lebih mementingkan IP (Indeks Prestasi) yang tinggi serta singkatnya masa pendidikan sebagai tujuan utama. Berbagai institusi pendidikan tinggi-pun berlomba-lomba menawarkan berbagai nilai plus, dari kelengkapan fasilitas fisik, kedigdayaan teknologi informasi, serta kesesuaian program studinya dengan kurikulum perguruan tinggi asing. Hal-hal yang ditawarkan tersebut seolah menjadi jaminan tingginya kualitas intelektual lulusan.

Ungkapan-ungkapan yang sering muncul adalah, “Kuliah di ‘anu’ saja, gedungnya bagus, fasilitasnya juga oke.” Atau, “Saya sih senang anak Saya masuk ke ‘itu’, belum lulus sudah banjir tawaran kerja. Persis seperti janji di brosurnya.” Alhasil, tanda-tanda lahiriah menjadi tujuan utama dan kesantunan, sportivitas, integritas, serta pelestarian budaya menjadi hal yang tidak lagi penting. Kegelisahan Bung Hatta bahwa perguruan tinggi Indonesia menjadi pencetak ‘tukang’ dan bukan mengembangkan ‘manusia yang utuh’ agaknya semakin terlihat nyata.

Krisis nilai-nilai luhur bangsa tampak jelas ketika IPDN tetap tak punya wibawa dalam memberantas kekerasan dan hukum rimba, sifat-sifat yang idealnya tidak hadir pada manusia yang berpendidikan. Praktek sogok serta jual-beli naskah ujian yang tetap marak juga menandakan ketidakdewasaan pelaku pendidikan. Bila kebiasaan menghalalkan segala cara demi mendapat nilai bagus atau kekuasaan sejak di bangku kuliah ini terus berlanjut, bisa dibayangkan pola-perilaku seperi apa yang akan dipakai untuk memenangkan kompetisi kerja. Sangat miris rasanya bila kemudian sikap materialistis dan hedonis mampu menggerus nilai-nili luhur bangsa seperti kejujuran, kerja keras dan keimanan.

Ada beberapa hal yang dapat kita kerjakan bersama untuk mengurangi krisis jati diri ini. Peertama, keluhuran nilai-nilai positif perlu terus diajarkan di dunia pendidikan. Hal ini memberi dua dampak yang signifikan. Satu, nilai-nilai yng baik akan menambah keyakinan akan jati diri yang dapat meredam sikap reaksional terhadap perubahan dunia. Fondasi nilai-nilai budaya, kemanusiaan dan ketuhanan yang kuat memberikan kekuatan untuk dapat berefleksi sehingga dapat menang dengan cara yang terpuji. Dua, kenyamanan pada identitas atau jati diri sendiri memampukan apresiasi terhadap nilai-nilai luar. Berbagai macam perbedaan merupakan bagian dari dunia yang utuh. Kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang yang lain akan menambah wawasan serta kemampuan untuk bersaing di dunia global.

Kedua, pelaku pendidik perlu kembali kepada visinya yang semula, yaitu menciptakan manusia Indonesia yang seutuhnya. Hal ini termasuk nilai-nilai budaya dan bahasa. Kita perlu belajar pada Negara-negara seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Di Malaysia, walaupun bahasa Inggris umum dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah, murid-murid tetap terbukti mampu menggunakan bahasa Melayu dengan baik. Sikap santun namun kritis menjadi cirri khas mahasiswa Malaysia di manapun mereka berada.

Thailand terkenal sangat terbuka pada dunia luar, tetapi nilai budayanya tetap kental dan menjadi kebanggaan rakyatnya. Dalam dunia pendidikan pun, Thailand merupakan salah satu Negara referensi perguruan tinggi di Asia Tenggara. Dalam pengajaran bahasa Inggris, Thailand disebut-sebut sebagai contoh perpaduan Barat-Timur yang ideal dalam pengajaran bahasa Inggris.

Vietnam, yang lima belas tahun lalu masih tertinggal jauh dari Indonesia perlu menjadi contoh. Selain rakyatnya yang gemar menuntut pendidikan, etos kerjanya juga sangat baik. Para investor asing pun senang manyambangi negara ini karena situasi nasionalnya yang relatif stabil. Kini, Vietnam memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, yang ditunjang dengan berbagai macam bentuk usaha yang kreatif dari pelaku ekonomi dalam negri. Hal ini mungkin merupakan dampak dari banyaknya lulusan luar negri yang kembali lagi untuk membangun Vietnam sebagai negara asalnya.

Ketiga, Adopsi-Adaptasi merupakan kewajiban pendidik dan pemerintah. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk menginformasikan visi pembangunan dan perkembangan jaman kepada rakyatnya.

Tugas pendidik adalah untuk mengadopsi nilai-nilai yang tersedia di dunia luar, seperti kompetisi, teknologi informasi dan bahasa asing. Namun, para pendidik juga perlu melakukan adaptasi agar jati diri bangsa tidak menjadi hilang.

Sikap kompetisi diubah menjadi kooptasi (kooperasi dan kompetisi). Penerapan teknologi dalam pembelajaran cenderung membuat mahasiswa teralienasi dan bersifat individualistis. Hal ini tidak sesuai dengan sifat kolaborasi yang dimiliki pembelajar Indonesia (salah satu peneliti di bidang ini adalah Anita Lie dari Universitas Petra-Surabaya).

Oleh karenanya, diperlukan sikap yang berimbang. Yang perlu dihindari adalah sikap ekstrim, yaitu memilih yang satu tapi meniadakan yang lain. Jangan sampai akhirnya perubahan jaman meniadakan nilai luhur bangsa. Namun, bangsa Indonesia dapat menjadi cerdas tanpa kehilangan jati diri.

Risa R. Simanjuntak, M.AppLing (Melbourne), M.A. (Leeds)
Pengajar di universitas di Jakarta

*7 April 2008

  • Monthly

  • Blogroll

  • Meta

    • Subscribe to RSS feed
    • The latest comments to all posts in RSS
    • Subscribe to Atom feed
    • Powered by WordPress; state-of-the-art semantic personal publishing platform.
    • Firefox - Rediscover the web