Risa

February 1st, 2009

MENJADI CERDAS TANPA KEHILANGAN JATI DIRI

Jessica membuka tudung saji di atas meja makan sambil merengut, “Mom, where’s my chicken nuggets and fries?” Sang Ibu, dengan bahasa Inggris yang patah-patah kemudian mencoba membujuk putrinya yang berusia 7 tahun itu untuk makan yang ada di meja: nasi dengan ayam goreng saus mentega dan oseng-oseng jagung muda. “Saya terus terang agag kerepotan karena dia maunya dengar teguran saya kalau pakai bahasa Inggris,” tutur Fransiska, yang memasukkan anaknya itu ke sekolah internasional di Jakarta. “Apalagi sekarang, Jessa paling malas main sama tetangga karena mereka tidak bisa bahasa Inggris, katanya,” sambung sang Ibu. Tren menyekolahkan anak ke sekolah internasional atau nasional plus, yang nota bene berbahasa pengantar Inggris, memang tengah marak di kota-kota besar Indonesia. Namun, salah satu dampak yang memrihatinkan adalah hilangnya akar budaya, salah satunya bahasa Indonesia. Kecenderungan ini, ditambah sikap kebarat-baratan seperti cerita di atas membuat kita jadi bertanya: apakah menjadi cerdas harus mengorbankan jati-diri.

Persaingan ketat di dunia kerja, ditambah bayang-bayang pasar bebas AFTA, membuat para orang tua mulai berinvestasi bagi pendidikan putra-putrinya. Misi mereka sederhana, agar kelak masa depan anak-anak mereka lebih cerah: mudah mendapatkan pekerjaan dan memiliki kesejahtraan yang baik. Hal inilah yang melatarbelakangi tren sekolah-sekolah plus yang walaupun biayanya bisa sepuluh kali lipat atau lebih dari sekolah-sekolah negri tidak pernah sepi pendaftar. Bahkan jauh sebelum tahun ajaran baru dimulai, jumlah siswanya telah mecukupi, seperti sebuah sekolah plus di bilangan Serpong yang telah menutup pendaftaran murid baru untuk tahun ajaran 2007/2008 sejak beberapa bulan lalu. Para orang tua tersebut sadar bahwa untuk menang dalam persaingan diperlukan kecerdasan, dan pendidikan dengan paket plus tampak sangat menjanjikan.

Hal lain yang menjadi pendorong adalah lebih terbukanya pemerintah pada pihak luar untuk ikut mengambil porsi dalam pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah plus kemudian mencampur kurikulumnya dengan kurikulum Singapura, Australia, maupun Amerika, yang sering dikenal dengan pola home-schooling-nya. Kurikulum home-schooling yang mulanya berkembang di kalangan missionary di Amerika, dianggap memiliki nilai tambah karena mengajarkan kemandirian, berpikir kritis, dan nilai-nilai social spiritual yang baik. Sikap positif pemerintah terhadap perubahan membuat pembelajar memiliki lebih banyak pilihan untuk meningkatkan kecerdasannya, melalui beragam pilihan sekolah.

Di tingkat perguruan tinggi, pemerintah juga sedang gencar-gencarnya mengembangkan semangat kompetisi untuk meningkatkan kualitas lulusan. Tujuannya serupa, agar sarjana-sarjana Indonesia dapat bersaing di dunia kerja, baik di dalam maupun luar negri. Bebagai program, seperti INHERENT (Indonesian Higher Education Network) yang mengusung penggunaan teknologi informasi, digitalisasi perpustakaan, dan pengelolaan HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) sebagai katalisator intelektulitas dan kompetisi pendidikan tinggi. Ditambah lagi, Badan Sertifikasi Nasional (BSN) juga gencar mengkampanyekan sertifikasi profesi yang menuntut sarjana tidak hanya cerdas namun juga siap terap di dunia kerja. Semua tuntutan dan peluang ini kemudian memacu para pemain pendidika tinggi untuk mengejar keunggulan keilmuan dan ketrampilan kerja.

Namun demikian, ternyata keterbukaan juga memiliki dampak yang kurang menyenangkan. Para mahasiswa akhirnya lebih mementingkan IP (Indeks Prestasi) yang tinggi serta singkatnya masa pendidikan sebagai tujuan utama. Berbagai institusi pendidikan tinggi-pun berlomba-lomba menawarkan berbagai nilai plus, dari kelengkapan fasilitas fisik, kedigdayaan teknologi informasi, serta kesesuaian program studinya dengan kurikulum perguruan tinggi asing. Hal-hal yang ditawarkan tersebut seolah menjadi jaminan tingginya kualitas intelektual lulusan.

Ungkapan-ungkapan yang sering muncul adalah, “Kuliah di ‘anu’ saja, gedungnya bagus, fasilitasnya juga oke.” Atau, “Saya sih senang anak Saya masuk ke ‘itu’, belum lulus sudah banjir tawaran kerja. Persis seperti janji di brosurnya.” Alhasil, tanda-tanda lahiriah menjadi tujuan utama dan kesantunan, sportivitas, integritas, serta pelestarian budaya menjadi hal yang tidak lagi penting. Kegelisahan Bung Hatta bahwa perguruan tinggi Indonesia menjadi pencetak ‘tukang’ dan bukan mengembangkan ‘manusia yang utuh’ agaknya semakin terlihat nyata.

Krisis nilai-nilai luhur bangsa tampak jelas ketika IPDN tetap tak punya wibawa dalam memberantas kekerasan dan hukum rimba, sifat-sifat yang idealnya tidak hadir pada manusia yang berpendidikan. Praktek sogok serta jual-beli naskah ujian yang tetap marak juga menandakan ketidakdewasaan pelaku pendidikan. Bila kebiasaan menghalalkan segala cara demi mendapat nilai bagus atau kekuasaan sejak di bangku kuliah ini terus berlanjut, bisa dibayangkan pola-perilaku seperi apa yang akan dipakai untuk memenangkan kompetisi kerja. Sangat miris rasanya bila kemudian sikap materialistis dan hedonis mampu menggerus nilai-nili luhur bangsa seperti kejujuran, kerja keras dan keimanan.

Ada beberapa hal yang dapat kita kerjakan bersama untuk mengurangi krisis jati diri ini. Peertama, keluhuran nilai-nilai positif perlu terus diajarkan di dunia pendidikan. Hal ini memberi dua dampak yang signifikan. Satu, nilai-nilai yng baik akan menambah keyakinan akan jati diri yang dapat meredam sikap reaksional terhadap perubahan dunia. Fondasi nilai-nilai budaya, kemanusiaan dan ketuhanan yang kuat memberikan kekuatan untuk dapat berefleksi sehingga dapat menang dengan cara yang terpuji. Dua, kenyamanan pada identitas atau jati diri sendiri memampukan apresiasi terhadap nilai-nilai luar. Berbagai macam perbedaan merupakan bagian dari dunia yang utuh. Kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang yang lain akan menambah wawasan serta kemampuan untuk bersaing di dunia global.

Kedua, pelaku pendidik perlu kembali kepada visinya yang semula, yaitu menciptakan manusia Indonesia yang seutuhnya. Hal ini termasuk nilai-nilai budaya dan bahasa. Kita perlu belajar pada Negara-negara seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Di Malaysia, walaupun bahasa Inggris umum dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah, murid-murid tetap terbukti mampu menggunakan bahasa Melayu dengan baik. Sikap santun namun kritis menjadi cirri khas mahasiswa Malaysia di manapun mereka berada.

Thailand terkenal sangat terbuka pada dunia luar, tetapi nilai budayanya tetap kental dan menjadi kebanggaan rakyatnya. Dalam dunia pendidikan pun, Thailand merupakan salah satu Negara referensi perguruan tinggi di Asia Tenggara. Dalam pengajaran bahasa Inggris, Thailand disebut-sebut sebagai contoh perpaduan Barat-Timur yang ideal dalam pengajaran bahasa Inggris.

Vietnam, yang lima belas tahun lalu masih tertinggal jauh dari Indonesia perlu menjadi contoh. Selain rakyatnya yang gemar menuntut pendidikan, etos kerjanya juga sangat baik. Para investor asing pun senang manyambangi negara ini karena situasi nasionalnya yang relatif stabil. Kini, Vietnam memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, yang ditunjang dengan berbagai macam bentuk usaha yang kreatif dari pelaku ekonomi dalam negri. Hal ini mungkin merupakan dampak dari banyaknya lulusan luar negri yang kembali lagi untuk membangun Vietnam sebagai negara asalnya.

Ketiga, Adopsi-Adaptasi merupakan kewajiban pendidik dan pemerintah. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk menginformasikan visi pembangunan dan perkembangan jaman kepada rakyatnya.

Tugas pendidik adalah untuk mengadopsi nilai-nilai yang tersedia di dunia luar, seperti kompetisi, teknologi informasi dan bahasa asing. Namun, para pendidik juga perlu melakukan adaptasi agar jati diri bangsa tidak menjadi hilang.

Sikap kompetisi diubah menjadi kooptasi (kooperasi dan kompetisi). Penerapan teknologi dalam pembelajaran cenderung membuat mahasiswa teralienasi dan bersifat individualistis. Hal ini tidak sesuai dengan sifat kolaborasi yang dimiliki pembelajar Indonesia (salah satu peneliti di bidang ini adalah Anita Lie dari Universitas Petra-Surabaya).

Oleh karenanya, diperlukan sikap yang berimbang. Yang perlu dihindari adalah sikap ekstrim, yaitu memilih yang satu tapi meniadakan yang lain. Jangan sampai akhirnya perubahan jaman meniadakan nilai luhur bangsa. Namun, bangsa Indonesia dapat menjadi cerdas tanpa kehilangan jati diri.

Risa R. Simanjuntak, M.AppLing (Melbourne), M.A. (Leeds)
Pengajar di universitas di Jakarta

*7 April 2008

2 Responses to ' MENJADI CERDAS TANPA KEHILANGAN JATI DIRI '

Subscribe to comments with RSS or TrackBack to ' MENJADI CERDAS TANPA KEHILANGAN JATI DIRI '.

  1. Andy Sutioso said,

    on February 11th, 2009 at 9:33 am

    Halo Risa dan rekan2
    Salam kenal, Saya Andy Sutioso dari Bandung. Tulisan Risa inspiratif sekali. Saya sependapat dengan banyak poin-poin bahasan yang diangkat.
    Senang bisa bertemu dengan teman sepemikiran. Sekalian minta ijin untuk melink blog ini ke blog saya. Mudah-mudahan kita bisa saling kontak dan tukar pikiran.
    Salam dan sukses buat karya-karyanya.

  2. schoolwithoutwalls said,

    on February 15th, 2009 at 7:51 pm

    Salam hangat,
    Terima kasih komentarnya, Mas. Semoga bisa ikut sumbang tulisan, ya. Ditunggu…

Leave a reply

:mrgreen: :neutral: :twisted: :shock: :smile: :???: :cool: :evil: :grin: :oops: :razz: :roll: :wink: :cry: :eek: :lol: :mad: :sad:

  • Monthly

  • Blogroll

  • Meta

    • Subscribe to RSS feed
    • The latest comments to all posts in RSS
    • Subscribe to Atom feed
    • Powered by WordPress; state-of-the-art semantic personal publishing platform.
    • Firefox - Rediscover the web