Tammy (Tan Sai Tao), seorang mahasiswa dari negeri China sedang mengambil studi Master Rumah Sakit di Inggris. Ia merupakan salah satu dari ribuan mahasiswa lain yang setiap tahunnya membanjiri negeri Ratu Elizabeth ini utuk menuntut ilmu.
Di negeri asalnya, anak seorang dokter ini mengaku berasal dari keluarga menengah ke bawah di kota kecil perbatasan Cina-Vietnam. Namun, ayahnya yang sangat mempedulikan pendidikan merelakan tunjangan masa tuanya agar anak semata wayangnya dapat menuntut ilmu walau ke negri yang jauhnya hampir sehari penuh perjalanan udara.
Tammy menuturkan, di China orang tua berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Kalau perlu bahkan sampai ke luar negri. Semua ini karena pendidikan dianggap dapat pula meningkatkan peluang untuk bekerja dan berbisnis. Selain itu, pendidikan menjadi bagian penting budaya, yang telah ada sejak 5000 tahun silam.
Niat yang kuat ini didukung pula oleh berbagai kemudahan dari Pemerintah Cina. Menurut catatan Asosiasi Universitas dan Sekolah Tinggi Cina, ada sekitar 6juta mahasiswa yang terdaftar di 2000 universitas di Cina. Untuk mengakomodasi kebutuhan mahasiswa tersebut, pemerintah tak segan memberikan berbagai fasilitas penunjang, dari asrama, koneksi internet murah, sampai bea siswa. Tidak hanya mahasiswa local saja yang bisa menerima bea siswa, namun juga bagi mahasiswa yang berasal dari luar negri. Tercatat, di tahun 1999 saja, ada sebanyak 5211 mahasiswa luar negri yang dibiayai pemerintah Cina.
Menurut penuturan Tammy pula, ketika ia kuliah S1 di negaranya, tersedia asrama yang wajib ditinggali oleh mahasiswa. Pertimbangan utama adalah agar mahasiswa dapat berkonsentrasi dalam belajar, mudah mengikuti perkuliahan, karena lokasinya yang berada di areal kampus, serta meringankan biaya pendidikan Kedokteran yang cenderiung tinggi. Fasilitas ini, termasuk makan di pagi hari bagi setiap penghuni asrama, dibiayai oleh Negara.
Kontras dengan di Indonesia, jangankan fasilitas asrama, untuk mendapat subsidi uang kuliah yang sangat tinggi pun kadang dipersulit. Selain itu, fasilitas internet menjadi monopoli orang-orang di kota besar.
Berbeda dari Indonesia, China membanjiri warganya dengan akses informasi yang murah. Setiap rumah tangga yang memiliki sambungan telepon biasanya juga memiliki akses Internet. Ini dikarenakan cepatnya fasilitas pemasangan sambungan, 24 setelah aplikasi, sedangkan biaya sambungan Internet broad band hanya sebesar Rp 15 ribu saja per bulan bagi mahasiswa.
Sementara itu, di China, pemerintah juga memberikan bantuan dalam pengadaan bahan ajar. Tammy menuturkan buku-buku teks yang dipakai selama perkuliahan bisa dinikmati mahasiswa kedokteran secara gratis. Fasilitas ini ditanggung penuh oleh pemerintah daerah.
Pemerintah China memberikan batuan yang maksimal dengan harapan rakyat lebih leluasa memilih jurusan Kedokteran. Dukungan penuh dari pemerintah dipercaya dapat mempercepat kelulusan para dokter yang akhirnya akan menerjunkan lebih banyak tenaga kedokteran di masyarakat. Alhasil, lebih banyak orang yang dapat terlayani secara medis.
Pemerintah China agaknya menyadari betul arti penting kesempatan belajar dan teknologi sebagai jembatan ke masa depan yang lebih baik. Sejumlah besar uang yang diinvestasikan untuk memajukan pendidikan dan layanan penunjang, seperti Internet, tak pelak lagi telah dapat kita saksikan hasilnya. Lihat saja pertumbuhan ekonomi di negeri Panda yang mencapai level tercepat di dunia. Perkembangan teknologi kedokteran dan teknologi informasi di China-pun telah dapat membuat Negara-negara Barat mulai beralih untuk memakai jasanya.
Tammy memilih Pendidikan Manajemen Rumah Sakit karena ia menyadari bahwa jasa medis di negerinya memiliki pasar atau konsumen di dunia. Tammy menuturkan lebih lanjut bahwa banyak juga orang Indonesia yang datang ke rumah-rumah sakit di China untuk menjalani operasi dan pengobatan kanker.
Alhasil, menurut Tammy, rumah-rumah sakit berlomba untuk menarik pasien dengan memberikan layanan yang terbaik. Tammy yang berambisi untuk mendirikan rumah sakit sendiri di kemudian hari kini menjadi dokter perusahaan minyak lepas pantai. Dia bagai membuka kliniknya sendiri di atas perairan luas.
Sisi entreprenuership bukan merupakan barang baru bagi bangsa China. Kita sebenarnya dapat juga mengembangkanya dalam sistim pendidikan tinggi. Hal ini telah termaktub dalam KPPTJP (Kerangka Pembangunan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang) 2003-2010. Dirjen Pendidikan Tinggi memiliki target untuk dapat menciptakan lulusan yang dapat berkompetisi di dunia luas.
Sementara itu, pendidikan tinggi kita masih dibayang ketakutan rendahnya sarjana yang terserap di pasar kerja. Jumlah pengangguran yang cukup besar di negara kita juga mencakup para sarjana. Hal ini sungguh merupakan ironi. Di satu sisi, keeksklusifan jenjang pendidikan tinggi ini tidak dibarengi dengan kesuksesan berupa peningkatan kualitas kehidupan.
Hal ini sungguh berbeda dengan para mahasiswa di China yang pada umumnya berpikir untuk mencari peluang baru. Di Inggris, tiap tahun terdapat sejumlah besar mahasiswa baru di jurusan bisnis yang termotivasi untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.
Para mahasiswa itu mengakui, gelar luar negeri yang mereka kantongi tidak hanya akan mempermudah mereka mencari pekerjaan di berbagai tempat. Namun juga akan meningkatkan posisi tawar mereka ketika hendak membuka peluang usaha sendiri di negeri asal, China.
Di Indonesia, terdapat pemikiran yang keliru. Pendeknya masa studi sebuah jenjang perguruan tinggi dianggap sebagai cermin kualitas pendidikan tinggi. Demikian juga halnya biaya kuliah yang mahal dan fasilitas yang mewah seakan menandai pendidikan tinggi yang berkualitas. Hampir di seluruh institusi, penekanan kepada rasio mahasiswa dosen merupakan tolok ukur keberhasilan institusi pendidikan tinggi. Jika jumlah sarjana yang tercetak meningkat, sebuah institusi pendidikan tinggi dinilai sukses dan menjadi incaran banyak orang.
Namun demikian, pemerintah belum menunjukkan komitmen untuk mewujudkan impian ini. Di samping biaya kuliah yang mahal, fasilitas seperti koleksi pustaka dan teknologi masih jauh dibandingkan dengan yang ada di China.
Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Indonesia sebenarnya juga memiliki angan-angan bagi perkembangan teknologi bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Pemerintah kita melalui Dikti mengharapkan sarjana-sarjana yang mampu berinovasi dan dapat memajukan riset di negeri ini. Namun demikian, kerja nyata pemerintah belum dapat dirasakan hingga kini.
Ada beberapa solusi yang dapat diimplementasikan. Pertama, pemerintah harus menambah anggaran di bidang pendidikan tinggi. Penambahan anggaran dikosentrasikan pada dua hal: pertama perluasan peluang bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan tinggi dan kedua penerapan teknologi bagi pendidikan tinggi. Yang terakhir ini vital untuk merealisasikan kemajuan keilmuan, khususnya dari sisi riset.
Kedua, pemerintah harus menyosialisasikan arti penting entrepreneurship kepada masyarakat. Ini penting karena dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan Indonesia adalah menciptakan masyarakat yang cerdas, baik, dan beragama.
Cerdas mengacu pada keutamaan intelektualitas atau hard-skill. Baik berarti keluhuran budi pekerti atau soft-skill, yang akhir-akhir ini menjamur ditawarkan dalam bentuk program-program pengembangan kepribadian. Sedangkan beragama mengacu kepada kemajemukan agama atau aliran kepercayaan di Indonesia, yang menjunjung tinggi sisi spiritualitas atau keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa. Sisi spiritualitas cenderung ditinggalkan oleh masyarakat modern karena lebih mengutamakan kesuksesan materi.
Adalah tugas pemerintah dan masyarakat pendidikan tinggi untuk mewujudkan kaum intelektual yang berkeimanan. Hal ini akan menjadi nilai lebih bagi pendidikan tinggi Indonesia.
Kita tidak hanya memiliki peluang namun juga dapat belajar dari pengalaman China. Tahun ini saja terdapat mahasiswa yang berasal dari 164 negara asing yang belajar di perguruan tinggi di Cina. Sebanyak 24511 orang mahasiswa berasal dari Indonesia. Tentu saja tujuannya bukan untuk menyerap ilmu secara mentah-mentah namun harus mampu mengadaptasi kunci sukses China sesuai dengan konteks budaya dan kepercayaan kita. Memangdiperlukan waktu yang tidak sebentar tetapi tidak ada kata terlambat untuk belajar.
Risa R. Simanjuntak, S.S., M.App.Ling. (UniMelb), M.A. (LeedsU)
Pengajar di salah satu universitas Jakarta
*6 Maret 2007