SATU BANGSA, SATU BAHASA: PENDIDIKAN ITU UNTUK MERDEKA
Seruan persatuan yang berkumandang hampir 8 dekade lalu terdengar menyisakan harapan. Menghadapi penjajahan yang keji Sumpah Pemuda menyatukan tekad untuk maasa depan yang lebih baik. Kini, 79 tahun berlalu, masa depan yang didambakan, tak kunjung terwujud juga.
Seruan satu bangsa, satu bahasa menyiratkan betapa sebelumnya bangsa kita terpecah-belah, terbelokkan dari tujuan utama untuk merdeka. Keteguhan tujuan, keadaan terdidik, atau yang oleh Newman disebut sebagai ‘philosophycal mind’, adalah jawaban dari kondisi porak poranda dan serba rentan kala itu. Kedaan terdidik adalah kondisi jiwa, pikiran, rasa dan karsa yang merdeka, yang mendorong setiap jiwa utuk memperjuangkan kesejahteraannya tanpa ancaman atau tekanan.
Namun, keadaan terdidik sampai saat ini tak kunjung terwujud. Pendidikan yang seharusnya memerdekakan justru membelenggu jiwa terpelajar dari memperjuangkan hak-haknya untuk sepenuhnya merdeka. Sebut saja Yohannes Surya, betapa berpeluh dan tercabik harapannya ketika memperjuangkan harkat dan martabat anak-anak daerah. Penghambat terbesar bukan sulitnya soal Olimpiade Fisika atau kedisiplinan anak-anak didiknya. Batu sandungan terbesar adalah ungkapan sinis, keraguan, dan tak adanya dukungan dari bangsanya sendiri, bahwa Indonesia dapat menang di Olimpiade Fisika tingkat dunia. Satu bahasa, bangsa kita dengan mudahnya lupa, dan kembali kepada keraguan dan takut, keadaan orang tak terdidik.
Salahkan pendidikan kita, atau lebih tepatnya salahkan pendidikan tinggi kita. Pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi obor penerang, tiang penyangga, biduk yang teguh, pemandu langkah pendidikan bangsa telah kehilangan visinya. Pendidikan tinggi kita telah menjadi pabrikan yang menghasilkan orang-orang yang tercetak serba sama. Produk-produk jadi yang dengan terpaksa kita sebut sarjana telah mampu memuaskan keterpakaian di dunia industri, tempat kerja dan berbagai profesi terpilih. Tetapi pertanyaan yang sama tetap tak terjawab: setelah kesamaan tekad itu, kemerdekaan apa yang telah diraih. Seberapa besar para sarjana kita telah mencerahi lingkungannya, memberikan dorongan dan inspirasi, jalan keluar bagi kesejahteraan social bangsanya?
Sepertinya penjajahan dan pecah belah ekonomi telah membuat bangsa ini kembali terjajah. Di universitas swasta hampir tidak ada lagi yang memasukkan Kuliah Kerja Nyata atau kerja social di kurikulumnya. Jawabannya sederhana: tidak efisien. Program pemerintah yang memberi jalan UKM menerima asistensi dari pendidikan tinggi-pun tak mendapat sambutan yang antusias dari para mahasiswa, lagi-lagi karena alasan yang serupa: mahasiswa tidak mendapat keuntungan ekonomi yang nyata. Pertanyaannya: bahasa apa yang telah dipakai pendidik di universitas sehingga bangsa ini terbentuk serupa: materialistis.
Tony Coadi dalam bukunya yang controversial “Why University Matters” menyalahkan kesalahkaprahan yang muncul sejak awal terbentuknya universitas. Walaupun ideal, ide ‘philosopycal mind’ tidak pernah sepenuhnya terwujud, bahkan sejak masa-masa awal berdirinya universitas-universitas besar seperti Oxford atau Cambridge. Buku yang telah dilarang terbit oleh institusinya sendiri Universitas Melbourne ditakuti semakin meruncingkan kontroversi mengenai keberadaan mesin cetak manusia berijasah ini.
Permasalahannya sekarang adalah bahasa. Bahasa apa yang perlu disepakati para pendidik tinggi agar kita terbebas dari penjajahan identitas sebagai manusia yang utuh. Apakah bahasa uang dan keuntungan lebih penting daripada bahasa intelektual dan himaniora? Apakah setelah selesai terjajah secara badani kini bangsa kita tak lagi bersatu padu menetang penjajahan jiwa yang lebih berbahaya.
Sekolah HIMMATA, Plumpang, Jakarta Utara, telah membuktikan bahwa kemiskinan bukanlah alasan bagi perwujudan ‘phylosophical mind’. Tanpa keraguan Siswandi, pendiri sekolah miskin ini, mampu membuktikan bahwa anak-anak yang tadinya berlarian di jalanan untuk mengamen dan mengemis telah menjadi pemikir-pemikir yang kreatif dan kritis. Mereka kini tidak lagi turun ke jalanan tetapi memakai rasa, rasa dan karsanya untuk membangun masa depan yang lebih baik. Merekalah pahlawan-pahlawan kecil yang telah menang atas penjajahan uang receh dengan percaya bahwa jika tekad ada semesta mendukung keberadaannya.
Sebebas Siswandikah jiwa-jiwa para pendidik tinggi? Mampukah bahasa kebebasan yang sama memerdekakan pengelola pendidikan tinggi dari ketakutan tak dapat lebih banyak mencetak lulusan tiap tahunnya dan memberi pekerja baru bagi pihak industri? Mampukah bahasa keyakinan mampu mendorong penyelenggara pendidikan tinggi tidak mencemaskan fasilitas dan dana yang tersedia namun berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan yang mentransformasi? Akhirnya, seruan satu bangsa, satu bahasa, adalah tekad untuk menciptakan manusia Indonesia yang merdeka, merdeka dalam berkarya, merdeka dalam berpikir, merdeka dalam mengasah budi dan panggilan jiwa untuk memanjukan diri sendiri dan bangsanya.
Risa R. Simanjuntak, S.S., M.AppLing.(Melb.)., M.A. (Leeds)
Pengamat dan Pelaku Pendidikan Tinggi
*7 October 2007